Senin, 02 Desember 2019

KEDUDUKAN DIFABEL DALAM PEMERINTAHAN


PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, beakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan dll. Setiap anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk turut serta dalam pembangunan. Sebagai waraga negara Indonesia, penyandang cacat mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga lainnya.[1]
Demokrasi sebagai dasar hidup berbangsa pada umumnya memberikan pengertian bahwa adanya kesempatan bagi rakyat untuk ikut memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok tentang kehidupan warga negara, termasuk dalam menilai kebijakan pemerintah. Jadi, setiap warga negara dapat memberikan suara untuk pemerintahan dan pemerintah memberikan hak-hak setiap warga negara tanpa dibeda-bedakan. Tetapi pada implementasinya tidak seperti apa yang diinginkan. Tidak semua dari warga negara dapat menikmati pelayanan yang ada di negara. Banyaknya kasus diskriminasi yang membuat suatu kegagalan dalam pemerintahan untuk menjamin hak-hak dasar warganya. Akhirnya muncullah minoritas dalam negara ini yang rentan terhadap diskriminasi antara lain yaitu orang lanjut usia, anak-anak, wanita dan penyandang cacat (difabel).
Dalam Undang-Undang no 4 tahun 1997 pada pasal 1 ayat (1) berbunyi: “Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:
1.      Penyandang cacat fisik,
2.      Penyandang cacat mental,
3.      Penyandang cacat fisik dan mental”.
Menurut WHO (World Health Organization), difabel adalah suatu kehilangan atau ketidak normalan baik secara psikologis, fisiologis, maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis. Difabel atau yang biasa disebut dengan penyandang cacat merupakan kelompok yang sering terlupakan atau terabaikan dalam pemerintahan di negara Indonesia. Padahal apabila kita ketahui bahwa kaum difabel sudah mengalami dua proses peminggiran. Pertama, terpinggirkan dari lingkungan sosial dikarenakan kecacatan yang dialaminya sehingga kaum ini sulit untuk bergerak bebas di lingkungan masyarakat dan juga terbatasnya regulasi yang menyangkut tentang hak-hak mereka. Kedua, implikasi dari proses pertama diatas mengakibatkan kaum difabel sulit mengakses fasilitas publik, sehingga merasa terpinggirkan dari orang yang lainnya. Seperti contoh, masih banyak tempat yang tidak mengkhususkan untuk kaum difabel. Pemerintah juga kurang peka terhadap hal ini. [2]
Telah tercatat sekitar 11% dari penduduk Indonesia adalah difabel. Angka ini bukan sedikit dengan keseluruhan jumlah penduduk Indonesia sehingga pemerintah harus memberikan kebijakan untuk fasilitas yang ramah dengan kaum difabel. Sejumlah kota sudah berbenah untuk memberikan hak bagi warganya yang berkebutuhan khusus. Jika kebutuhan bagi warga yang berkebutuhan khusus ini telah diberikan maka, pemerintah telah memberikan hak bagi kelompok warga yang rentan dengan diskriminasi lainnya, seperti ibu hamil, lanjut usia, dan anak-anak.
Penyandang cacat atau difabel dalam warga negara Indonesia mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dengan warga negara lainnya tanpa adanya memandang fisik. Dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dari pasal ini kita dapat menyimpulkan bahwa setiap warga negara mempunyai persamaan kedudukan dimata hukum tanpa adanya perbedaan baik menurut fisik, adat, dll. Oleh karena itu peran para difabel dalam pembangunan nasional sangatlah penting untuk mendapat perhatian dan memberikan ruang untuk dapat berkembang dalam dunia pemerintahan.
 Dalam pasal 28D ayat (1) berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Dalam pasal 28H ayat (3) berbunyi “ Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Jadi setiap orang mempunyai jaminan sosial tanpa ada pengecualiannya selagi masih sebagai warga negara Indonesia.
Segala pasal yang terdapat diatas yang bersifat umum untuk seluruh warga negara tanpa adanya perbedaan tanpa adanya perbedaan antara difabel dan orang normal. Sebagai warga negara Indonesia, hak, kewajiban, dan peran penyandang cacat adalah sama dengan warga Indonesia yang lainnya. Dinegara Indonesia pada saat ini jarang sekali kita mendengar adanya partisipasi dari kaum difabel dalam pemilihan umum. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Pemilu yang diselenggarakan oleh setiap negara haruslah bersifat inklusif sebagai syarat demokrasi, yang berarti tidak boleh ada orang atau kelompok orang (dengan dasar pengelompokan apapun, misalnya: ras, suku, kondisi fisik) yang diabaikan haknya sebagai Pemilih atau haknya sebagai yang dipilih.[3]
Pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Oleh karena itu, pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi hukum. Pemilu dapat dikatakan aspiratif dan demokratis apabila memenuhi persyaratan. Pertama, pemilu harus bersifat kompetitif, dalam artian peserta pemilu harus bebas dan otonom. Kedua, pemilu yang diselenggarakan secara berkala, dalam artian pemilu harus diselenggarakan secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Ketiga, pemilu harus inklusif, artinya semua kelompok masyarakat harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satupun kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif dalam proses pemilu. Keempat, pemilu harus diberikan keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Kelima, penyelenggara pemilu tidak memihak independen.[4] Apabila dilihat dari persyaratan pemilu yang ketiga maka, bisa diketahui bahwa semua warga negara harus ikut serta dalam pemilu tanpa adanya pengecualian. Tidak ada yang diperlakukan secara diskriminatif terutama kepada kaum yang minoritas. Karena suara dari kaum minoritas juga menentukan masa depan suatu negara.
Pada pemilu tahun 2014 yang lalu terdapat lebih dari 190 juta pemilih yang menggunakan suaranya dan sekitar 10 juta pemilih nya adalah dari kaum disabilitas atau berkebutuhan khusus. Angka ini bukannya sedikit untuk memberikan suara kepada negara dalam pemilihan umum. Kaum disabilitas juga mengingkan seorang pemimpin yang diingingkannya, dari pada itulah satu suara dari kaum disabilitas juga mempengaruhi dalam penjumlahan hak suara. Dalam pelaksaannya hanya sedikit dari kaum disabilitas yang dapat memberikan suaranya. Faktor utama nya adalah aksesibilitas atau fasilitas bagi kaum disabilitas.[5]
Indonesia sebenarnya telah memiliki perangkat hukum yang menjamin hak-hak bagi kaum difabel seperti yang tertera dalam Undang-Undang 1997 pasal 41 ayat (2) yang berbuyi “Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus”. Pada pasal 42 berbunyi “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”[6].dan juga Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang HAM, kelompok penyandang cacat diharuskan memperoleh pelayanan khusus yang artinya setiap penyandang cacat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan atau penyedian layanan dari fasilitas dan sarana demi kelancaran, keamanan, kesehatan dan keselamatan dalam aktivitasnya. Perlakuan ini sebenarnya menjadi tanggung jawab penuh negara dalam memenuhi hak-hak difabel. [7]
Begitupula dalam pelayanan dalam pemilihan umum, pelayanan untuk difabel diharuskan pemerintah untuk memberikan kemudahan. Aksesibilitas yang diberikan pemerintahan belum seluruhnya tersebar dalam kota-kota di Indonesia. Dari sinilah patut disayangkan bagi pemerintahan yang ada di Indonesia. Aksesibilitas merupakan hal penting dalam mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Dalam Undang-Undang No 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dalam pasal 51 ayat (2) menyebutkan : “ TPS sebagaimana dimaksudkan ayat (1) ditentukan lokasinya ditempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia. Dari pasal ini dapat membuktikan bahwa pemerintah seharusnya memberikan fasilitas yang memudahkan bagi penyandang cacat dalam pemilihan umum apakah itu berupa TPS terdekat atau transportasi bagi penyandang cacat untuk menuju ke TPS.

B.     RUMUSAN MASALAH
Beradasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka dapat diambil pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.      Bagaimana pemerintah daerah Sleman memberikan hak-hak penuh difabel dalam pemilihan umum secara merata?
2.      Sudah ada undang-undang yang mengatur segala tentang difabel atau penyandang cacat. Akan tetapi bagaimanakah merealisasikan undang-undang tersebut?

C.    TUJUAN PENELITIAN
Dari pokok permasalahan diatas maka dalam penelitian ini memberikan suatu tujuan penelitian berupa :
1.      Memberikan suatu kontribusi bagi pemerintah daerah Sleman untuk lebih peka dalam memberikan fasilitas yang merata bagi kaum difabel.
2.      Memberikan jalan keluar agar undang-undang yang ada di Indonesia yang mengkhususkan kaum difabel dapat direalisasikan.

D.    METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif melalui sumber data yang bersangkutan dengan situsi yang sedang terjadi didalam masyarakat tentang pemilihan umum yang memberikan hak difabel untuk memilih berdasarkan hati nurani nya dan keinginannya. Penelitian deskriptif kualitatif memberikan suatu data yang konkrit berdasarkan fakta dan pengaruh terhadap suatu kondisi yang terjadi pada saat ini.
Penelitian ini menitik beratkan kepada penelitian pustaka (library research) yang mana data-data yang diperoleh berdasarkan dari buku-buku yang berkaitan dengan kasus ini. Agar dapat memberikan suatu pengetahuan dan meneliti dengan berdasarkan teori-teori yang telah ada.

E.     TINJAUAN PUSTAKA
Telaah pustaka adalah deskripsi ringkasan tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang diteliti sehingga tidak terdapat pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang sudah ada. Agar mendapatkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya serta autentik maka penulis mencantumkan beberapa referensi yang berkaitan dengan tema yang penulis teliti, dari banyak referensi itu diantaranya :
1.    Aksesibilitas : membuka ruang politik bagi diffable (Potret Aksesibilitas bagi Kelompok Difabel dalam perspektif right based approach di Yogyakarta yang ditulis oleh Longgina Novadona Bayo. Dalam tulisan ini membahas tentang hak kaum difabel untuk dapat bergerak di ruang publik dan menghilangkan unsur cacat yang dapat mengakibatkan kaum difabel terdiskriminasikan dari warga negara Indonesia yang lainnya.
2.    Peran Panitia Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca) dalam Sosialisasi Politik bagi Masyarakat Difabel dalam Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta 2013 yang ditulis oleh Oktaviawan yandarisman jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro.

F.     KERANGKA TEORITIK
Pembangunan nasional adalah sebagai aspek kehidupan sebuah negara yang diselenggarakan oleh masyarakat dan pemerintah. Kegiatan masyarakat dan kegiatan pemerintah harus saling mendukung, saling mengisi, saling melengkapi setiap kekurangan untuk menuju kepada tujuan pembangunan. Untuk membangun suatu negara yang baik dan benar dibutuhkan suatu pemimpin yang dipilih melalui pemilihan umum. Setiap warga negara diwajibkan untuk memilih pemimpinnya.
Sebagai warga negara Indonesia, kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang cacat adalah sama dengan warga lainnya seperti yang tertera dalam UUD 1945 dalam pasal 27. Hal ini menandakan bahwa negara kita telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada harkat dan martabat manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu peran penyandang cacat dalam menentukan masa depan negara sangat diperlukan.
Dalam Tesis ini penulis mencoba memakai Teori Hugo Grotius. Bagi Grotius, setiap orang mempunyai kecendrungan hidup bersama. Tidak hanya itu, karena manusia memiliki rasio, manusia itu ingin hidup secara damai.[8] Dalam konteks judul ini bahwa penyandang cacat sama hal nya dengan manusia yang lainnya. Karena masih memiliki akal dan mempunyai tujuan dalam pembangunan nasional tanpa memandang kaum minoritas.

G.    SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I  membahas tentang pendahuluan yang memaparkan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian, tinjuan pustaka, kerangka teoritik, dan sistematika penulisan.
BAB II terdiri dari pembahasan secara umum tentang kaum difabel baik itu di Indonesia maupun luar negeri.
BAB III terdiri dari metode penelitian yang menerangkan tentang tempat dan waktu penelitian, jenis penelitian, dan juga termasuk pengumpulan data secara sistematis berdasarkan sumber-sumber yang diterima
BAB IV berisi segala analisis dan pembahasan tentang pemilih umum yang menitik beratkan kepada kaum difabel
BAB V adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan penelitian, saran-saran penelitian, dan kekurangan yang terdapat dalam penelitian dan juga berisi daftar pustaka.


[1] H.Muladi, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam perspektif Hukum dan Masyarakat, ( Bandung, PT Refika Aditama, 2007), hlm 253.
[2] Longgina Novadona Bayo, Aksesibilitas: membuka ruang politik bagi diffable (potret Aksesibilitas bagi Kelompok Difabel), (Salatiga, 2006).
[3] H.A. Prayitno, Pendidikan Kebangsaan, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (KADEHAM), (Jakarta, Universitas Trisakti, 2010), hlm 97.
[4] Didik Sukriono, Hukum, Konstitusi dan Konsep Otonom, (Malang, Setara Press, 2013), hlm 152-153.
[6] H.Muladi , Op.Cit hlm 254.
[8] Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta, Genta Publishing, 2010) hlm 68.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar