Senin, 02 Desember 2019

KAMPANYE KAUM DIFABEL


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setelah berakhirnya era rezim Soeharto, Indonesia memberikan suatu ruang demokrasi yang sesungguhnya. Hal ini dapat dilihat dalam pemilihan presiden yang memberikan hak bagi setiap masyarakat Indonesia untuk memilih pemimpin sesuai dengan hati nuraninya. Setiap masyarakat mempunyai wewenangan dalam memutuskan dan memilih pemimpin untuk masa depan untuk negara.
Dalam keseharian sering terdengar dengan kaum difabel. Kurangnya tanggapan pemerintah terhadap kaum difabel menjadikan  mereka seperti masyarakat yang tidak mempunyai bagian lebih di pemerintahan. Selama ini masyarakat memandang kalangan difabel dengan berbagai stigma negatif. Keterbatasan yang dimiliki kaum difabel dipandang dengan berlebihan. Kaum difabel dipandang sebagai orang sakit, tidak berdaya dan harus ditolong. Masyarakat sering kali memperlakukan penyandang cacat dengan bantuan berlebihan dna sebisa mungkin tidak memberi penyandang cacat kewajiban apapun. Pandangan inilah yang mengakibatkan kaum difabel terhambat untuk berkembang.[1]
Banyak kasus yang membuat mereka dalam posisi diskriminasi dan berdampak kaum difabel/ penyandang cacat sulit untuk bergerak maju. Padahal dari mereka mempunyai banyak sekali pengetahuan dan banyak memiliki potensi yang belum tentu masyarakat lain punya. Selalu saja menjadi suatu hambatan bagi kaum difabel.
Difabel atau yang biasa disebut dengan penyandang cacat merupakan kelompok yang sering terlupakan atau terabaikan dalam pemerintahan di negara Indonesia. Padahal apabila kita ketahui bahwa kaum difabel sudah mengalami dua proses peminggiran. Pertama, terpinggirkan dari lingkungan sosial dikarenakan kecacatan yang dialaminya sehingga kaum ini sulit untuk bergerak bebas di lingkungan masyarakat dan juga terbatasnya regulasi yang menyangkut tentang hak-hak mereka. Kedua, implikasi dari proses pertama diatas mengakibatkan kaum difabel sulit mengakses fasilitas publik, sehingga merasa terpinggirkan dari orang yang lainnya. Seperti contoh, masih banyak tempat yang tidak mengkhususkan untuk kaum difabel. Pemerintah juga kurang peka terhadap hal ini.[2]
Perlakuan diskriminasi semacam ini dapat dilihat secara jelas, contohnya dalam bidang lapangan pekerjaan. Perusahaan atau yang menyediakan lapangan pekerjaan kebanyakan enggan untuk menerima pekerja yang seorang penyandang cacat sebagai karyawan. Banyak alasan dari mereka salah satunya penyandang cacat tidak dapat bekerja seefektif karyawan yang lainnya. Diskriminasi inilah yang menyebabkan setiap penyandang  cacat tidak dapat untuk bergerak maju, makanya itu banyak dari penyandang cacat akhirnya hanya berada dalam pada tempatnya dan tidak bisa untuk bergerak maju. Padahal belum tentu dari setiap penyandang cacat tidak bisa bekerja secara efektif. Banyak diantara penyandang cacat yang mempunyai keterampilan lebih dari orang lain (orang yang tidak cacat). Padahal sudah ada undang-undang yang menjelaskan tentang perlindungan terhadap hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kaum difabel di Indonesia. Undang-undang itu tercantum dalam pasa 14, UU No.4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat yang menjelasakan bahwa setiap perusahaan pemerintah dan swasta wajib mempekerjakan kaum difabel dalam perusahaannya. Pasal berikutnya yaitu pasal 28 disebutkan tentang sanksi hukum atas pelanggaran terhadap pasal 14, berupa kurungan selama-lamanya 6 bulan/  denda sebesar dua ratus juta rupiah.[3]
Dalam pemerintahan yang demokrasi seperti sekarang ini setiap masyarakat memiliki hak bersuara dan hak memilih pemimpin yang diadakan setiap lima tahun sekali yang juga sering disebut dengan PEMILU (Pemilihan Umum). Pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Oleh karena itu, pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi hukum. Pemilu dapat dikatakan aspiratif dan demokratis apabila memenuhi persyaratan. Pertama, pemilu harus bersifat kompetitif, dalam artian peserta pemilu harus bebas dan otonom. Kedua, pemilu yang diselenggarakan secara berkala, dalam artian pemilu harus diselenggarakan secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Ketiga, pemilu harus inklusif, artinya semua kelompok masyarakat harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satupun kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif dalam proses pemilu. Keempat, pemilu harus diberikan keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Kelima, penyelenggara pemilu tidak memihak independen.[4]
Apabila dilihat dari pemilu pada zaman orde baru dan pasca reformasi banyak sekali pebedaan. Apabila pada zaman orde baru seperti partai Golongan Karya (GOLKAR) memiliki kekuasaan yang luas dalam setiap daerah yang menjadikan sulitnya untuk partai lain untuk memenangkan suara. Pada zaman pasca reformasi tidak berlaku lagi kekuasaan partai Golkar untuk menguasai daerah. Ini juga menjadikan setiap masyarakat Indonesia untuk memilih partai nya dan memilih pemimpinnya dengan hati nuraninya tanpa adanya pakasaan.[5] Daripada itu setiap partai politik akan berkampanye untuk mencari suara masyarakat. Yang mana mencari suara ini untuk memenangkan hasil dari pemilu. Banyak cara yang dilakukan oleh partai politik untuk memberikan orasi. Salah satu contoh melewati kaum difabel. Apabila diteliti satu suara dalam pemilihan umum akan memberikan dampak yang berbeda dalam hasil keputusan. Oleh karena itu apabila berkampanye melewati kaum difabel sangat efektif dalam mencari suara. Karena setiap kaum difabel menginginkan hak mereka dipenuhi.
Akan tetapi dalam implementasinya partai politik enggan untuk mencari suara dari golongan difabel. Partai politik lebih menginginkan untuk berkampanye dikalangan orang-orang miskin untuk mencari suara terbanyak. Mungkin dikarenakan warga negara Indonesia masih banyak dari kalangan menengah kebawah. Dari siniah politik dalam kampanye partai politik dimainkan. Akan tetapi kenapa setiap partai politik belum terlalu tertarik untuk berkampanye dikalangan kaum difabel?. Apa dikarenakan belum adanya aksesibilitas yang disediakan pemerintah untuk kaum difabel dalam pemilihan umum atau karena suara kaum difabel lebih sedikit dibandingkan orang-orang miskin?
Dari pada itu penelitian tentang ini sangat menarik untuk dikaji dan diteliti. Maka itu, penulis akan mencoba meneliti tentang kampanye partai politik kepada kaum difabel.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dipaparkan diatas maka dapat diambil rumusan masalah yang hendak diteliti yaitu:
1.      Mengapa partai politik enggan untuk berkampanye dikalangan kaum difabel?
2.      Upaya apakah yang diberikan pemerintah untuk memberikan hak suara difabel dalam pemilihan suara?
3.       
C.    Tujuan Penelitan dan Manfaat Penelitian
Setelah adanya rumusan masalah maka akan dapat memberikan tujuan dalam penelitian yaitu :
1.      Mengetahui sebab partai politik masih enggan untuk berkampanye dikalangan kaum difabel.
2.      Memberikan solusi agar kaum difabel mendapatkan hak nya di pemilihan umum.
Apabila tujuan penelitan itu telah ada maka akan membuahkan manfaat bagi penelitian ini yang menjadi sumbangan ilmu pengetahuan baru. Dan memberikan jalan yang baik agar tercipta suatu kampanya yang bukan hanya menghamburkan atau mengeluarkan dana yang banyak.

D.    Telaah Pustaka
Sudah banyak sekali penelitian tentang penyandang cacat dalam pemilihan umum, akan tetapi semua menitik beratkan kepada aksesibilitas yang disediakan pemerintah untuk kaum difabel dan penyandang cacat. Akan tetapi saya belum menemukan penelitian tentang kampanye partai politik diantara kaum difabel dalam tujuan untuk mencari dan merauk suara. Maka dari pada itu penelitian ini diharuskan untuk banyak mengumpulkan data yang cukup banyak untuk menghasilkan jawaban yang benar. Dari pada itu penulis mencari data dari berbagai karya ilmiah dan jurnal-jurnal diantaranya :
1.      Aksesibilitas : Membuka Ruang Politik bagi Diffable (Potret Aksesibilitas bagi Kelompok Difabel dalam perspektif right based approach di Yogyakarta. Yang ditulis oleh Longgina Novadona Bayo tahun 2006. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini yaitu dengan pendekatan karikatif/amal (charicaty approach) dan pendekatan hak asasi manusia.  teori kebijakan publik yang dipakai untuk menghasilkan jawaban yang relevan. Dalam tulisan ini membahas tentang hak kaum difabel untuk dapat bergerak di ruang publik dan menghilangkan unsur cacat yang dapat mengakibatkan kaum difabel terdiskriminasikan dari warga negara Indonesia yang lainnya.
2.      Peran Panitia Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca) dalam Sosialisasi Politik bagi Masyarakat Difabel dalam Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta 2013. Ditulis oleh Oktaviawan Yandarisman tahun 2014. Penulis menggunakan  pendektan sosio-politik dan menggunakan teori Sosialisasi Politik, teori Hak Asasi Manusia. Penulis menerangkan tentang aksesibilitas yang ada di dalam PPUA Penca sudah ada, akan tetapi masih kurang memadai dan mengakomodir seluruh kepentingan penyandang cacat.
3.       Jurnal dari Dr. Mansour Fakih yang berjudul “Analisis Kritis Diskriminasi Terhadap Kaum Difabel” tahun 1999. Dalam jurnal ini penulis menggunakan pendekatan HAM. Dikarenakan melihat dan meneliti dengan kacamata HAM memberikan suatu hasil yang baik. Karena dilihat dari keseharian dan hak yang diinginkan kaum difabel.

E.     Kerangka Teoritik
Difabel suatu yang selalu diterbelakangi disegala sektor. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sebenarnya tidak ada mendiskriminasi seseorang. Tiap masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan yang sama. Walaupun itu mempunyai kekurangan tapi tetap menjadi warga negara. Dalam melihat dan meneliti kasus difabel dalam kehidupan warga negara harus memasuki kehidupan yang ada dikalangan kaum difabel. Tidak semua yang dianggap orang lain tentang difabel itu sama. Pendekatan yang dilakukan secara sosiologis mungkin dapat memberikan jawaban yang tepat.
Penelitian kepada pemerintah dan partai politik disini, menggunakan teori rational choice. Teori ini bercerita tentang tujuan berdasarkan tindakan untuk memperjuangkan tujuan bersama. Dalam buku David Marsh menjelaskan teori rational choice adalah bahwa ketika dihadapkan pada beberapa jenis tindakan, orang biasanya melakukan apa yang mereka yakini berkemungkinan mempunyai hasil terbaik.[6]

F.     Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah bersifat kualitatif. Metode kualitatif adalah istilah generik untuk menyebut berbagai teknik seperti observasi, observasi partisipan, wawancara individu intensif, dan wawancara kelompok fokus, yang berusaha memahami pengalaman dan praktik informan kunci untuk menempatkan mereka secara tepat dalam konteks.[7] Untuk menganalisis tentang penelitian ini, penulis membuat alur agar mempermudah dalam penelitian yaitu:
1.      Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini sebenarnya memakai studi pustaka (library research) dengan objek tujuan buku-buku yang berkaitan dengan penyandang cacat dan juga buku-buku yang berkaitan dengan pemerintahan.
2.      Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosio-politik. Terdapat beberapa definisi tentang sosiologi yang dikemukakan oleh berbagai tokoh sosiologi. Sosiologi pada dasarnya memusatkan perhatiannya pada masyarakat dan individu, karena menurut sosiologi, masyarakat sebagai tempat interaksi tindakan-tindakan individu dimana tindakan tersebut dapat mempengaruhi masyarakat. Sedangkan politik berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan dan sistem politik untuk tercapatnya tujuan bersama yang telah diterapkan dalam hal ini tujuan nya adalah untuk penggunaan kekuasaan agar tujuan tersebut dapat terlaksana.[8]
3.      Sifat Penelitian
Ditinjau dari sifat penelitian ini menggunakan deskriptif analisis. Satu keuntungan ukuran deskriptif adalah memungkinkan pengamat utuk memecahkan observasi, dan meneliti proporsi.[9] Dan analisis ini memberikan analisa tentang problem yang diteliti. Menurut Whitney, deskriptif analisis adalah merupakan metode pengumpulan fakta melalui interprestasi yang tepat. Metode penelitian ini bertujuan untuk mempelajari permasalahan yang timbul  dalam masyarakat dalam situasi tertentu, termasuk didalamnya hubungan  masyarakat, kegiatan, sikap, opini, serta proses yang tengah berlangsung dan pengaruhnya terhadap fenomena tertentu dalam masyarakat.[10]
4.      Sistem Pengumpulan Data
Adapun dalam teknik pengumpulan data, penulis menggunakan angket, wawancara, dan observasi. Hasil yang akan diterima dalam pengumpulan data dari angket, wawancara dan observasi ini lah yang akan menghasilkan rumusan untuk memecahkan problem yang terjadi. Angket bertujuan untuk memberikan informasi yang relevan dengan masalah penelitian, dan juga bertujuan untuk memberikan suatu data yang lebih relevan. Wawancara bertujuan untuk memastikan hasil dari angket agar memberikan suatu hasil yang bisa menjadi lebih mendalam lagi dibandingkan angket. Kemudian observasi bertujuan untuk mengetahui realita yang sebenarnya terjadi. Apabila ketiga metode pengumpulan data ini disatukan akan memberikan hasil yang lebih spesifik.
G.    Sistematika Penulisan
Adapun dalam penulisan tesis ini penulis merincikannya menjadi lima bab.
BAB I membahas tentang pendahuluan yang memaparkan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian, tinjuan pustaka, kerangka teoritik, dan sistematika penulisan.
BAB II berisikan pembahasan secara umum tentang kaum difabel atau penyandang cacat dan juga pembahasan tentang umum partai politik beserta segala yang terdapat didalamnya.
BAB III berisikan  tentang metodologi penelitian yang digunakan pada studi ini, termasuk juga waktu dan tempat penelitian ini dilakukan berdasarkan data primer dan skunder
BAB IV memuat analisis dalam penelitian ini melalui sumber yang didapatkan dan  memuat teori yang dilakukan.
BAB V adalah bab terakhir atau penutup yang berisi kesimpulan penelitian, sara-saran penelitian, dan kekurangan yang terdapat dalam penelitian dan juga berisikan daftar pustaka.














H.    Daftar Pustaka

Barnes, Colin, and Geof Mercer, 2003, “Disability”, USA, Polity Press.
Budiarjo, Miriam. 1981. “Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai”, Jakarta, PT. Gramedia.
Cassuto Rothman, Juliet, 2003, “Social Work Practice Across Disability”, USA, Ally and Bacon.
Juliansyah, Evi, 2013, “Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi”, Bandung, Mandar Maju.
Kartawidjaja, Pipit R. Dkk. 2002. “Sistem Pemilu dan Pemilihan Presiden: Suatu Studi Banding”, Jakarta, KKIP Eropa.
Nastiti, Aulia, 2011, Proposal Kampanye Disability Awareness WeekMembangun Kesadaran Demi Kesetaraan”,  Universitas Indonesia, Ilmu Komunikasi.
Novadona Bayo, Longgina, 2006, “Aksesibilitas : Membuka Ruang Politik Bagi Difabel (Potret Aksesibilitas bagi Kelompok Difabel), Salatiga.
Salim, Ishak. 2014. “Memahami Pemilihan Umum dan Gerakan Politik Kaum Difabel”, Yogyakarta : SIGAB.
_______. 2014. “Perspektif Difabilitas Dalam Politik di Indonesia”, Yogyakarta, SIGAB.
_______. 2014. “Perspektif Difabilitas dan Kontribusi Gerakan Difabilitas Bagi Terbangunnya Pemilu Inklusif di Indonesia”. Yogyakarta, SIGAB.
Sukriono, Didik, 2013,  Hukum, Konstitusi dan Konsep Otonom, Malang, Setara Press.
Tri Suryawan, Gefi, 2010, “Kampanye Kesetaraan Hak Terhadap Kaum Penyandang Cacat Melalui Media Komunikasi Visual”, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Wibawa, Samudra, 2011, “Politik Perumusan Kebijakan Publik”, Yogyakarta : Graha Ilmu.



[1] Aulia Nastiti, Proposal Kampanye Disability Awareness WeekMembangun Kesadaran Demi Kesetaraan”,  (Universitas Indonesia, Ilmu Komunikasi, 2011), hlm 6.
[2] Longgina Novadona Bayo, Aksesibilitas: membuka ruang politik bagi diffable (potret Aksesibilitas bagi Kelompok Difabel), (Salatiga, 2006).
[3] Gefi Tri Suryawan, Kampanye Kesetaraan Hak Terhadap Kaum Penyandang Cacat Melalui Media Komunikasi Visual, (Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010).
[4] Didik Sukriono, Hukum, Konstitusi dan Konsep Otonom, (Malang, Setara Press, 2013), hlm 152-153.
[5] Elvi Juliansyah, Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi, (Bandung, Mandar Maju, 2013), hlm 130-135.
[6] David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik, (Bandung, Nusamedia, 2010), hlm 76.
[7] Ibid hlm 239-240.
[9] Op.cit hlm 269.

KEDUDUKAN DIFABEL DALAM PEMERINTAHAN


PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, beakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan dll. Setiap anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk turut serta dalam pembangunan. Sebagai waraga negara Indonesia, penyandang cacat mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga lainnya.[1]
Demokrasi sebagai dasar hidup berbangsa pada umumnya memberikan pengertian bahwa adanya kesempatan bagi rakyat untuk ikut memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok tentang kehidupan warga negara, termasuk dalam menilai kebijakan pemerintah. Jadi, setiap warga negara dapat memberikan suara untuk pemerintahan dan pemerintah memberikan hak-hak setiap warga negara tanpa dibeda-bedakan. Tetapi pada implementasinya tidak seperti apa yang diinginkan. Tidak semua dari warga negara dapat menikmati pelayanan yang ada di negara. Banyaknya kasus diskriminasi yang membuat suatu kegagalan dalam pemerintahan untuk menjamin hak-hak dasar warganya. Akhirnya muncullah minoritas dalam negara ini yang rentan terhadap diskriminasi antara lain yaitu orang lanjut usia, anak-anak, wanita dan penyandang cacat (difabel).
Dalam Undang-Undang no 4 tahun 1997 pada pasal 1 ayat (1) berbunyi: “Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:
1.      Penyandang cacat fisik,
2.      Penyandang cacat mental,
3.      Penyandang cacat fisik dan mental”.
Menurut WHO (World Health Organization), difabel adalah suatu kehilangan atau ketidak normalan baik secara psikologis, fisiologis, maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis. Difabel atau yang biasa disebut dengan penyandang cacat merupakan kelompok yang sering terlupakan atau terabaikan dalam pemerintahan di negara Indonesia. Padahal apabila kita ketahui bahwa kaum difabel sudah mengalami dua proses peminggiran. Pertama, terpinggirkan dari lingkungan sosial dikarenakan kecacatan yang dialaminya sehingga kaum ini sulit untuk bergerak bebas di lingkungan masyarakat dan juga terbatasnya regulasi yang menyangkut tentang hak-hak mereka. Kedua, implikasi dari proses pertama diatas mengakibatkan kaum difabel sulit mengakses fasilitas publik, sehingga merasa terpinggirkan dari orang yang lainnya. Seperti contoh, masih banyak tempat yang tidak mengkhususkan untuk kaum difabel. Pemerintah juga kurang peka terhadap hal ini. [2]
Telah tercatat sekitar 11% dari penduduk Indonesia adalah difabel. Angka ini bukan sedikit dengan keseluruhan jumlah penduduk Indonesia sehingga pemerintah harus memberikan kebijakan untuk fasilitas yang ramah dengan kaum difabel. Sejumlah kota sudah berbenah untuk memberikan hak bagi warganya yang berkebutuhan khusus. Jika kebutuhan bagi warga yang berkebutuhan khusus ini telah diberikan maka, pemerintah telah memberikan hak bagi kelompok warga yang rentan dengan diskriminasi lainnya, seperti ibu hamil, lanjut usia, dan anak-anak.
Penyandang cacat atau difabel dalam warga negara Indonesia mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dengan warga negara lainnya tanpa adanya memandang fisik. Dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dari pasal ini kita dapat menyimpulkan bahwa setiap warga negara mempunyai persamaan kedudukan dimata hukum tanpa adanya perbedaan baik menurut fisik, adat, dll. Oleh karena itu peran para difabel dalam pembangunan nasional sangatlah penting untuk mendapat perhatian dan memberikan ruang untuk dapat berkembang dalam dunia pemerintahan.
 Dalam pasal 28D ayat (1) berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Dalam pasal 28H ayat (3) berbunyi “ Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Jadi setiap orang mempunyai jaminan sosial tanpa ada pengecualiannya selagi masih sebagai warga negara Indonesia.
Segala pasal yang terdapat diatas yang bersifat umum untuk seluruh warga negara tanpa adanya perbedaan tanpa adanya perbedaan antara difabel dan orang normal. Sebagai warga negara Indonesia, hak, kewajiban, dan peran penyandang cacat adalah sama dengan warga Indonesia yang lainnya. Dinegara Indonesia pada saat ini jarang sekali kita mendengar adanya partisipasi dari kaum difabel dalam pemilihan umum. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Pemilu yang diselenggarakan oleh setiap negara haruslah bersifat inklusif sebagai syarat demokrasi, yang berarti tidak boleh ada orang atau kelompok orang (dengan dasar pengelompokan apapun, misalnya: ras, suku, kondisi fisik) yang diabaikan haknya sebagai Pemilih atau haknya sebagai yang dipilih.[3]
Pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Oleh karena itu, pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi hukum. Pemilu dapat dikatakan aspiratif dan demokratis apabila memenuhi persyaratan. Pertama, pemilu harus bersifat kompetitif, dalam artian peserta pemilu harus bebas dan otonom. Kedua, pemilu yang diselenggarakan secara berkala, dalam artian pemilu harus diselenggarakan secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Ketiga, pemilu harus inklusif, artinya semua kelompok masyarakat harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satupun kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif dalam proses pemilu. Keempat, pemilu harus diberikan keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Kelima, penyelenggara pemilu tidak memihak independen.[4] Apabila dilihat dari persyaratan pemilu yang ketiga maka, bisa diketahui bahwa semua warga negara harus ikut serta dalam pemilu tanpa adanya pengecualian. Tidak ada yang diperlakukan secara diskriminatif terutama kepada kaum yang minoritas. Karena suara dari kaum minoritas juga menentukan masa depan suatu negara.
Pada pemilu tahun 2014 yang lalu terdapat lebih dari 190 juta pemilih yang menggunakan suaranya dan sekitar 10 juta pemilih nya adalah dari kaum disabilitas atau berkebutuhan khusus. Angka ini bukannya sedikit untuk memberikan suara kepada negara dalam pemilihan umum. Kaum disabilitas juga mengingkan seorang pemimpin yang diingingkannya, dari pada itulah satu suara dari kaum disabilitas juga mempengaruhi dalam penjumlahan hak suara. Dalam pelaksaannya hanya sedikit dari kaum disabilitas yang dapat memberikan suaranya. Faktor utama nya adalah aksesibilitas atau fasilitas bagi kaum disabilitas.[5]
Indonesia sebenarnya telah memiliki perangkat hukum yang menjamin hak-hak bagi kaum difabel seperti yang tertera dalam Undang-Undang 1997 pasal 41 ayat (2) yang berbuyi “Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus”. Pada pasal 42 berbunyi “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”[6].dan juga Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang HAM, kelompok penyandang cacat diharuskan memperoleh pelayanan khusus yang artinya setiap penyandang cacat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan atau penyedian layanan dari fasilitas dan sarana demi kelancaran, keamanan, kesehatan dan keselamatan dalam aktivitasnya. Perlakuan ini sebenarnya menjadi tanggung jawab penuh negara dalam memenuhi hak-hak difabel. [7]
Begitupula dalam pelayanan dalam pemilihan umum, pelayanan untuk difabel diharuskan pemerintah untuk memberikan kemudahan. Aksesibilitas yang diberikan pemerintahan belum seluruhnya tersebar dalam kota-kota di Indonesia. Dari sinilah patut disayangkan bagi pemerintahan yang ada di Indonesia. Aksesibilitas merupakan hal penting dalam mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Dalam Undang-Undang No 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dalam pasal 51 ayat (2) menyebutkan : “ TPS sebagaimana dimaksudkan ayat (1) ditentukan lokasinya ditempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia. Dari pasal ini dapat membuktikan bahwa pemerintah seharusnya memberikan fasilitas yang memudahkan bagi penyandang cacat dalam pemilihan umum apakah itu berupa TPS terdekat atau transportasi bagi penyandang cacat untuk menuju ke TPS.

B.     RUMUSAN MASALAH
Beradasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka dapat diambil pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.      Bagaimana pemerintah daerah Sleman memberikan hak-hak penuh difabel dalam pemilihan umum secara merata?
2.      Sudah ada undang-undang yang mengatur segala tentang difabel atau penyandang cacat. Akan tetapi bagaimanakah merealisasikan undang-undang tersebut?

C.    TUJUAN PENELITIAN
Dari pokok permasalahan diatas maka dalam penelitian ini memberikan suatu tujuan penelitian berupa :
1.      Memberikan suatu kontribusi bagi pemerintah daerah Sleman untuk lebih peka dalam memberikan fasilitas yang merata bagi kaum difabel.
2.      Memberikan jalan keluar agar undang-undang yang ada di Indonesia yang mengkhususkan kaum difabel dapat direalisasikan.

D.    METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif melalui sumber data yang bersangkutan dengan situsi yang sedang terjadi didalam masyarakat tentang pemilihan umum yang memberikan hak difabel untuk memilih berdasarkan hati nurani nya dan keinginannya. Penelitian deskriptif kualitatif memberikan suatu data yang konkrit berdasarkan fakta dan pengaruh terhadap suatu kondisi yang terjadi pada saat ini.
Penelitian ini menitik beratkan kepada penelitian pustaka (library research) yang mana data-data yang diperoleh berdasarkan dari buku-buku yang berkaitan dengan kasus ini. Agar dapat memberikan suatu pengetahuan dan meneliti dengan berdasarkan teori-teori yang telah ada.

E.     TINJAUAN PUSTAKA
Telaah pustaka adalah deskripsi ringkasan tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang diteliti sehingga tidak terdapat pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang sudah ada. Agar mendapatkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya serta autentik maka penulis mencantumkan beberapa referensi yang berkaitan dengan tema yang penulis teliti, dari banyak referensi itu diantaranya :
1.    Aksesibilitas : membuka ruang politik bagi diffable (Potret Aksesibilitas bagi Kelompok Difabel dalam perspektif right based approach di Yogyakarta yang ditulis oleh Longgina Novadona Bayo. Dalam tulisan ini membahas tentang hak kaum difabel untuk dapat bergerak di ruang publik dan menghilangkan unsur cacat yang dapat mengakibatkan kaum difabel terdiskriminasikan dari warga negara Indonesia yang lainnya.
2.    Peran Panitia Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca) dalam Sosialisasi Politik bagi Masyarakat Difabel dalam Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta 2013 yang ditulis oleh Oktaviawan yandarisman jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro.

F.     KERANGKA TEORITIK
Pembangunan nasional adalah sebagai aspek kehidupan sebuah negara yang diselenggarakan oleh masyarakat dan pemerintah. Kegiatan masyarakat dan kegiatan pemerintah harus saling mendukung, saling mengisi, saling melengkapi setiap kekurangan untuk menuju kepada tujuan pembangunan. Untuk membangun suatu negara yang baik dan benar dibutuhkan suatu pemimpin yang dipilih melalui pemilihan umum. Setiap warga negara diwajibkan untuk memilih pemimpinnya.
Sebagai warga negara Indonesia, kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang cacat adalah sama dengan warga lainnya seperti yang tertera dalam UUD 1945 dalam pasal 27. Hal ini menandakan bahwa negara kita telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada harkat dan martabat manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu peran penyandang cacat dalam menentukan masa depan negara sangat diperlukan.
Dalam Tesis ini penulis mencoba memakai Teori Hugo Grotius. Bagi Grotius, setiap orang mempunyai kecendrungan hidup bersama. Tidak hanya itu, karena manusia memiliki rasio, manusia itu ingin hidup secara damai.[8] Dalam konteks judul ini bahwa penyandang cacat sama hal nya dengan manusia yang lainnya. Karena masih memiliki akal dan mempunyai tujuan dalam pembangunan nasional tanpa memandang kaum minoritas.

G.    SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I  membahas tentang pendahuluan yang memaparkan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian, tinjuan pustaka, kerangka teoritik, dan sistematika penulisan.
BAB II terdiri dari pembahasan secara umum tentang kaum difabel baik itu di Indonesia maupun luar negeri.
BAB III terdiri dari metode penelitian yang menerangkan tentang tempat dan waktu penelitian, jenis penelitian, dan juga termasuk pengumpulan data secara sistematis berdasarkan sumber-sumber yang diterima
BAB IV berisi segala analisis dan pembahasan tentang pemilih umum yang menitik beratkan kepada kaum difabel
BAB V adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan penelitian, saran-saran penelitian, dan kekurangan yang terdapat dalam penelitian dan juga berisi daftar pustaka.


[1] H.Muladi, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam perspektif Hukum dan Masyarakat, ( Bandung, PT Refika Aditama, 2007), hlm 253.
[2] Longgina Novadona Bayo, Aksesibilitas: membuka ruang politik bagi diffable (potret Aksesibilitas bagi Kelompok Difabel), (Salatiga, 2006).
[3] H.A. Prayitno, Pendidikan Kebangsaan, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (KADEHAM), (Jakarta, Universitas Trisakti, 2010), hlm 97.
[4] Didik Sukriono, Hukum, Konstitusi dan Konsep Otonom, (Malang, Setara Press, 2013), hlm 152-153.
[6] H.Muladi , Op.Cit hlm 254.
[8] Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta, Genta Publishing, 2010) hlm 68.