Jumat, 12 Juni 2015

Ibnu Khaldun Tentang Pemerintahan

A.    Biografi Ibn Khaldun
Ibn Khaldun dilahirkan di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M. Nenek moyang Ibn Khaldun berasal dari golongan Arab Yaman di Hadramaut. Setelah islam mengalami kehilangan kekuasaan di Andalusia, seluruh keluarganya pindah ke Tunisia. Kehidupan Ibn Khaldun terbagi menjadi empat fase.[1]
Pertama, fase pertumbuhan dan studi yang dimulai dari tahun 732 H sampai akhir tahun 751 H. Ayahnya adalah guru pertamanya. Ia belajar dengan beberapa guru. Antara lain dalam bahasa arab, ia belajar dengan Abu Abdillah Muhammad ibn Al-Arabi dan Abu Abdillah Muhammad Ibn Bahr. Kemudia ilmu fiqh, ia belajar dari Abu Abdillah Al-Jiyani dan Abu Al-Qasim Muhammad Al-Qahir. Selain belajar ilmu agama, ia juga belajar ilmu lainnya seperti ilmu filsafat, teologi, ilmu alam, matematika, dan astronomi.
Kedua, fase keterlibatan Ibn Khaldun dalam dunia politik. Kondisi politik pada masa itu ditandai oleh kemajemukan kerajaan Islam, yang menyebabkan dunia politik penuh dengan intrik. Disamping terlibat penuh dalam dinamika intrik, Ibn Khaldun juga sebagai pengamat perilaku-perilaku politik kaum elite.
Ketiga, fase Ibn Khaldun mengembangkan pemikiran dan kontemplasi yang berlangsung dari tahun 776 H sampai akhir tahun 780 H. Hal ini dilakukan setelah fase pengabdiannya pada kekuasaan dalam berbagai pemerintahan. Ibn Khaldun mungkin merasa lelah dengan petualangan politiknya dan memutuskan untuk hidup menyendiri guna menyusun karya-karyanya di Benteng Baru Salamah. Dalam masa ini Ibn Khaldun dapat berhasil menyelesaikan kaya momentumentalnya .  Al-Ibar beserta muqaddimah-nya.
Keempat, fase dimana babak akhir kehidupannya. Ibn Khaldun mengundurkan diri dari dunia politik dan membenamkan dirinya pada tugas intelektualnya. Seluruh karya yang dihasilkan diberikan kepada penguasa. Akan tetapi intrik politik tetap melanda. Ia menjadi sasaran tembak para elite dalam lingkaran kekuasaan. Pembesar Negeri tersebut telah merusak persahabatannya dengan Sultan Abu Al-Abbas. Inilah yang menjadi faktor pengunduran dirinya.[2]
Ibn Khaldun membuat kamuflase dengan meminta izin kepada sultan untuk naik haji. Pada kenyataannya, Ibn Khaldun tidak megarahkan kakinya ke Mekah, melainkan ke Iskandaria. Khaldun diterima oleh Sultan Al-Malik Al-Zahir Barquq. Sultan mengagumi pemikiran Ibn Khaldun dan menjadikannya sebagai hakim agung.
Pada periode ini, Khaldun bertemu Timur Lenk sang penakluk dan penguasa baru yang sangat terkenal dalam sejarah kekuasaan dan peradaban Islam di Timur Tengah di Syiria. Khaldun hingga ditawari berkerja di istana, namun khaldun menolak tawaran yang menggiurkan itu. Ibn Khaldun tidak lagi meghiraukan godaan kekuasaan pada akhir fase kehidupannya. Bahkan ia tidak lagi memberikan reaksi terhadap pancingan lawan-lawan politiknya. Khaldun tetap menjadi ilmuwan dan hakim agung hingga akhir hayatnya.[3]

B.     Pemikiran Ibn Khaldun Tentang Negara dan Perkembangannya
Ada perbedaan pendapat tentang kata daulah antara terjemahan buku Ibn Khaldun yang berjudul Muqaddimah yang ditulis oleh Franz Roshental dengan buku asli Ibn Khaldun yang bejudul Muqaddimah. Dalam bukunya Franz Rosenthal mengemukakan bahwa kata-kata daulah ditulis dengan kata dinasti dikarenakan ia berpendapat bahwa dalam istilah yang digunakan Ibn Khaldun tidak terdapat perbedaan antara negara dan dinasti. Karena pandangannya sejarah beradasarkan pendapat bahwa seluruh dunia dan segala sesuatu yang terdapat didalamnya tergantung kepada manusia. Sebuah konsep pemikiran yang absatrak tidak terdapat dalam pemikirannya. Negara itu ada selama diikat dan diperintah oleh orang-orang atau kelompok yang mereka wakili, yaitu dinasti. Apabila dinasti itu hancur maka negara akan ikut hancur.[4]
Dalam bukunya Ibn Khaldun yang berjudul Muqaddimah dipenuhi oleh konsep-konsep abstrak seperti konsep kebudayaan, peradaban, kepemimpinan, kekuasaan, kekuasaan negara, kota dan negara, ekonomi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan kemashuran Ibn Khaldun terdapat dalam konsep abstraknya tentang masyarakat manusia dan perkembangannya.
Ikatan bermasyarakat, bernegara dan beroeradaban pada umumnya sebagai sesuatu yang tumbuh dan tenggelam lepas dari soal apakah agama dalam pengertian nubuwwah datang atau tidak, karena ia mengakui bahwa banyak peradaban dan negara tumbuh dan tenggelam tanpa didatangi oleh ajaran-ajaran nabi. Bagi Ibn Khaldun, adanya masyarakat, negara dan peradaban tidak bergantung pada adanya agama. Meskopun dilain pihak Ibn Khaldun adalah seorang yang ditandai oleh ajaran-ajaran agama Islam, terutama fikih dan tafsir.
Menurut Ibn Khaldun, negara seperti makhluk hidup yang lahir, mekar menjadi tua, dan akhirnya hancur. Negara mempunyai umur seperti umur makhluk hidup lainnya. Ibn Khaldun berpendapat bahwa umur suatu negara adalah tiga generasi, yakni sekitar 120 tahun. Ketiga generasi itu antara lain:[5]
1.      Generasi Pertama, masih dalam kehidupan primitif yang keras, dan masih tinggal di pedesaan dan padang pasir.
2.      Generasi Kedua, memiliki kekuasaan dan mendirikan negara. Yang mana merubah dari primitif menjadi hidup yang mewah.
3.      Generasi Ketiga, negara mengalami kehancuran dikarenakan hidup dengan kemewahan, penakut, dan kehilangan makna kehormatan.
Menurut Ibn Khaldun, dalam suatu negara memiliki perkembangan melalui lima tahapan. Yaitu sebagai berikut:
1.      Tahap Pendirian Negara
Ibn Khaldun berpendapat bahwa negara tidak akan tegak, kecuali dengan ashabiyah. Ashabiyah membuat orang menyatukan upaya untuk tujuan yang sama, mempertahankan diri, dan menolak atau mengalahkan musuh.
2.      Tahap Pemusatan Kekuasaan
Pemusatan kekuasan adalah hal yang alamiah bagi manusia. Bagi Ibn Khaldun pemegang kekuasaan melihat kekuasaannya telah mapan maka ia akan berupaya untuk menghancurkan ashabiyah, memonopoli kekuasaan, dan menjatuhkan anggota-anggota ashabiyah.
3.      Tahap Kekosongan dan Kesantaian
Tahap untuk menikmati hasil dari kekuasaan yang menjadi watak manusia. Pada tahap ini negara berada dalam puncak kejayaannya
4.      Tahap Ketundukan dan Kemalasan
Pada tahap ini negara tidak ada yang terjadi, menunggu permulaan akhir kisahnya. Dan pada tahap ini negara hanya menikmati segalanya. Tanpa memikirkan masa depan yang mana menjadi penantian untuk kehancuran suatu negara.
5.      Tahap Foya-foya dan Penghamburan Kekayaan
Negara memasuki masa tua yang menimbulkan banyak penyakit krosnis yang yang hampir tidak dapat dihindari serta menuju dalam keruntuhan.[6]
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa peranan agama sangat besar dalam mendirikan negara yang besar. Menurutnya setiap negara yang luas daerah kekuasaannya pasti didasari oleh agama, baik yang disiarkan oleh seorang nabi (nubuwwah) atau seruan kebenaran (da’watu haqq). Faktor agama sangat besar sampai tidak dapat ditandingi oleh faktor apapun juga di dunia ini. Beliau mengutip dari al-Qur’an yang berbunyi:
y#©9r&ur šú÷üt/ öNÍkÍ5qè=è% 4 öqs9 |Mø)xÿRr& $tB Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏHsd !$¨B |Møÿ©9r& šú÷üt/ óOÎgÎ/qè=è% £`Å6»s9ur ©!$# y#©9r& öNæhuZ÷t/ 4 ¼çm¯RÎ) îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÏÌÈ  [7]
Artinya : “Dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha gagah lagi Maha Bijaksana”.
Jadi menurut Ibn Khaldun persatuan itu merupan bukan hasil usaha manusia, akan tetapi taufiq atau perkenan dari Allah. Kekuasaan kenegaraan itu hanya dapat diperoleh dengan perantaraan dominasi. Dan dominasi ini hanya dapat dicapai dengan solidaritas dan persatuan tekad untuk berjuang. Persatuan ini hanya dapat dicapai dengan perantara agama saja.[8]

C.    Konsep Ashabiyah Ibn Khaldun
Menurut Ibn Khaldun, suatu suku mungkin dapat membentuk dan memelihara suatu negara apabila suku itu memiliki sejumlah karakteristik sosial-politik tertentu, yang oleh Ibnu Khaldun disebut dengan Ashabiyah. Karakteristik ini justru hanya berada dalam kerangka kebudayaan desa. Oleh karena itu penguasa atas kekuasaan dan pendirian Negara, sehingga munculnya kebudayaan kota akan membuat sirnanya ashabiyah yang mengakibatkan lemahnya negara.
Ashabiyah adalah kekuatan penggerak Negara dan merupakan landasan tegaknya suatu negara atau dinasti, bilamana negara atau dinasti tersebut telah mapan, ia akan berupaya menghancurkan ashabiyah. Ashabiyah mempunyai peran besar dalam perluasan negara setelah sebelumnya merupakan landasan tegaknya negara tersebut. Bila asyabiyah itu kuatm maka negara yang muncul akan luas, sebaliknya bila ashabiyah lemah, maka luas negara yang muncul relatif terbatas.
Menurut Ibn Khaldun peran ashabiyah dalam pembentukan negara sangat menentukan. Ashabiyah pada pokoknya adalah kerjasama dan tolong menolong yang erat dalam suatu kelompok dalam bentuk sedemikian rupa sehingga dapat membentuk sebuah negara. Gejala ini dikatakan Ibn Khaldun sebagai suatu gejala yang alami. Maksud dari kata ashabiyah adalah solidaritas. Bagi Ibn Khaldun, solidaritas dalam bentuknya yang murni memang dapat diperhatikan dengan jelas dan sederhana dikalangan anggota suku atau kabilah terpencil. Akan tetapi sebagai suatu konsep, solidaritas dapat terjadi dalam bentuk lain yang mungkin lebih maju dan lebih kuat, seperti rasa persatuan yang kuat. Ibn Khaldun berpendapat tentang solidaritas ini dengan dua premis yaitu:
Premis pertama yaitu bahwa orang tidak mungkin menciptakan suatu negara tanpa didukung oleh suatu rasa persatuan dan solidaritas yang kuat. Ia mengatakan :
Mendominasi dan mempertahankan diri hanya dapat dilakukan dengan solidaritas, karena didalamnya terdapat ajakan untuk waspada, kesiagaan untuk perang dan kesediaan setiap orang dalam kelompok itu untuk mengorbankan jiwa dalam mempertahankan temannya.
Premis kedua adalah bahwa proses mendirikan negara itu harus melalui suatu perjuangan yang hebat, suatu pertarungan hidup dan mati. Sebabnya ialah karena kekuasaan negara itu adalah bangunan yang kokoh yang tidak dapat dirubuhkan begitu saja. Untuk itu perlu kekuatan yang besar. Untuk menghadapi perjuangan  dan pertarungan seperti ini diperlukan rasa dan kelompok solidaritas yang kuat. Jadi persaingan dan ambisi itu wajar terjadi. Ibn Khaldun mengatakan bahwa kekuasaan negara itu adalah:
Suatu jabatan yang mulia dan enak, yang di dalamnya terdapat segala kebaikan dunia, kenikmatan tubuh dan kelezatan jiwa. Karena itu, ia biasanya menjadi bahan persaingan. Jarang terjadi bahwa seseorang menyerahkannya kepada temannya, kecuali kalau ia dikalahkan. Karena itu terjadilah pertarungan yang dapat menimmbulkan peperangan, pertempuran dan dominasi. Dan semuanya ini hanya dapat dilakukan dengan solidaritas.[9]
Ashabiyah adalah hubungan sosial yang menekankan kesatuan, kesadaran berkelompok, dan kohesi sosial dalam konteks tribalisme dan berkelompok, yang dalam dunia modern diterjemahkan menjadi nasionalisme. Gagasan ini sudah ada sejak lama, namun menjadi sempurna ditangan Ibn Khaldun, ulama sejarah yang terkenal di dunia Islam. ia menjelaskan bahwa menjalankan pemerintahan adalah untuk muncul pada permukaan peradaban yang agung dan menggunakan solidaritas yang lebih kuat dalam jiwa penduduknya untuk mengubah kepemimpinan.
Solidaritas sosial menurut Ibn Khaldun memiliki kekuatan dahsyat apabila didasarkan pada agama, baik dari kenabian maupun seruan akan kebenaran. Hati umat manusia disatukan dan diseragamkan berkat perolongan Allah dengan memeluk agama yang sama. Dakwah Islam tanpa solidaritas sosial tidak akan berhasil. Ibn Khaldun mendasarkan pada sabda Rasulullah SAW: “Allah tidak mengutus seorang nabi pun, kecuali ia berada di tengah penjagaan kaumnya”.
Sejarah mencatat banyaknya pemberontakan yang berkahir dengan kegagalan karena mengabaikan faktor solidaritas sosial. Jika seorang nabi memerlukan solidaritas sosial bagi pejuangnya, apalagi bagi manusia biasa. Ibn Khaldun bahkan berpendapat bahwa kekuatan suatu negara terbatas pada solidaritas sosial. Solidaritas sosial sukit dibangun disuatu negara yang meliputi banyak suku.[10]
Bagi Ibn Khaldun naik turunnya suatu bangas tidak ada perberdaan antara muslim dan non muslim. Ada faktor-faktor yang membawa kepada kekuatan dan kejayaan bagi bangsa menurut Ibn Khaldun yaitu:
1.      Faktor Ashabiyah atau perpaduan sosial atau kesetia kawanan.
2.      Suatu ashabiyah yang lahir dari pertalian darah atau hubungan keluarga dan kabilah.
3.      Konsep ashabiyah yang menjung tinggi nilai agama.
4.      Quwwatul-Hayah, yaitu semangat untuk hidup. Ia menyatakan bahwa pasukan, senjata, dan taktik-taktik yang sesuai boleh memberikan jaminan, tetapi kemenangan dalam perang adalah hasil dari faktor-faktor psikologis dan khayalan manusia.
5.      faktor kekuatan dalam berpikir dan memajukan budaya ilmu. Ibn Khaldun memerhatikan bahwa umat islam mendapat kedudukan yang mulia dan tinggi dalam dunia ini apabila mereka mempunyai kemampuan yang tinggi dalam ilmu pengetahuan.[11]

D.    Khilafah Menurut Ibn Khaldun
Menurut Ibn Khaldun khilafah adalah pemerintahan yang berlandaskan agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk agama baik dalam hal duniawi maupun akhirat. Khilafah adalah pengganti Nabi Muhammad SAW dengan tugas menegakkan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia. Ibn Khaldun berpendapat bahwa imamah merupakan kewajiban menurut hukum syariat. Ia menolak orang yang berpendapat bahwa imamah tidak diperlukan dengan alasan apabila syariat telah dijalankan, imamah menjadi tidak penting.
Menurut Ibn Khaldun, berusaha lari dari kedaulatan dengan beasumsi bahwa lembaga imamah tidak penting tidak akan membantu. Mereka diharuskannya pelaksanaan syariat, padahal hal itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan solidaritas dan kekuasaan.[12] Ibn Khaldun menetapkan lima persyaratan bagi khilafah, imamah, ataupun sultan yaitu:
1.      Memiliki pengetahuan
2.      Memiliki sifat adil
3.      Mempunyai kemampuan
4.      Sehat panca Indera dan badannya
5.      Keturunan Quraisy[13]
Ia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka. Dengan jumlah yang banyak dari kaum Quraisy dan solidaritas kelompoknya yang kuat dan dengan keagungan suku Quraisy memiliki wibawa yang tinggi. Akan tetapi Ibn Khaldun berpendapat bahwa hal ini jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli oleh suku Quraisy, atau syarat keturunan Quraisy didahulukan dari kemampuan. Syarat ini hanya didasarkan oleh kewibawaan dan solidaritas yang tinggi dari suku Quraisy pada saat itu. Akan tetapi apabila ada suku lain yang lebih wibawa dan suku Quraisy tidak dapat diharapkan lagi maka dapat diganti suku lain.

E.     Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat diketahui bahwa dalam pembentukan suatu negara, Ibn Khaldun menggunakan solidaritas sosial yang kuat agar negara tersebut dapat kuat juga. Tidak semua dari solidaritas akan naik menjadi penguasa, akan tetapi hanya satu dari solidaritas itu yang akan menjadi penguasa atau dibilang sebagai khilafah, imamah, sulthan.
Ibn Khaldun menganggap bahwa suatu negara akan luas perkembangannya apabila ashabiyah itu kuat. Apabila ashabiyah itu lemah maka akan lemah juga suatu negara. Ibn Khaldun juga menerangkan dalam buku Mukaddimah bahwa tata kota dalam suatu negara. Agar suatu negara akan siap dan kuat apabila musuh datang. Beliau menerangkan bahwa suatu negara harus diatas air, maksudnya suatu kota dapat meninjau kota kecil lainnya dengan melewati air, dan juga agar dapat diketahui bahwa musuh akan datang bila lewat kepelabuhan. Suatu negara juga harus dekat dengan pegunungan atau bukit agar dapat memberikan informasi apabila musuh lewat jalur darat.
Ibn Khaldun juga memberikan syarat dalam pemilihan Khilafah, Imamah atau sulthan yang menjadi lima persyaratan, yaitu memiliki pengetahuan, memiliki sifat adil, mempunyai kemampuan, sehat panca indera dan badannya, dan keturunan Quraisy. Pemikiran ini sama dengan pemikiran Al-Mawardi dalam pemilihan imamah dalam negara.
Ibn Khaldun juga berpendapat bahwa segala sesuatu harus mempunyai keimanan dalam beragama yang kuat. Karena kekuatan agama tidak dapat ditandingi kekuatan yang apapun. Ia mengambil dalil dari surat Al-Anfaal ayat 63.
  



[1] Ayi Sofyan, Etika Politik Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2012) hlm 181.
[2] Ibid hlm 181-182..
[3] Ibid 183.
[4] Abdul Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibn Khaldun, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992) hlm 157.
[5] Jubair Situmorang, Model Pemikiran dan Penelitian Politik Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2014), hlm 185-186.
[6] Ibid hlm 186-187.
[7] Q.S Al-Anfaal : VIII ayat 63.
[8] Abdul Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibn Khaldun, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992) hlm 164-165.
[9] Abdul Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibn Khaldun, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992) hlm 160-162.
[10] Jubair Situmorang, Model Pemikiran dan Penelitian Politik Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2014), hlm 188-191.
[11] Ayi Sofyan, Etika Politik Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2012) hlm 288-290.
[12] Jubair Situmorang, Model Pemikiran dan Penelitian Politik Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2014), hlm 193.
[13] http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Siklus_Ibn_Khaldun diakses pada tanggal 17 april 2015.