Selasa, 17 Mei 2011

pajak dalam islam

PENDAHULUAN
Pajak (dharibah) merupakan suatu bentuk muamalah dalam bidang ekonomi, yang berfungsi sebagai alat pemenuhan kebutuhan negara dan masyarakat untuk membiyai berbagai kebutuhan bersama (kolektif) seperti keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Untuk itu tentu diperlukan adanya tentara, polisi ataupun pegawai serta perlengkapannya, tenaga kesehatan dan rumah sakit, para guru dan gedung sekolah. Banyak yang mengatakan bahwa tidak ada perpajakan dalam islam.
Para ulama pun berbeda-beda pendapat. Ada yang membolehkan dan juga yang mengharamkan pajak. Tentunya dengan alasan masing-masing yang sesuai dengan pemahaman para ulama tersebut. Jika pajak atau dharibah diperbolehkan para ulama maka tentunya harus sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam islam. Jika tidak, maka pajak itu sendiri akan keluar dari jalur yang sebenarnya dan akan memberatkan masyarakat yang membayar pajak, karena pelaksanaan yang tidak sesuai dengan kondisi mereka.
Dengan diterapkannya pajak yang sesuai dengan syariah, diharapkan kaum muslimin akan berlomba-lomba membayar pajak sebagai salah satu bentuk perjuangan di jalan Allah untuk membantu pemerataan pendapat seluruh masyarakat muslim.
Semoga makalah inin dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya dan selalu membayar pajak dengan tepat dan tentunya sesuai dengan syari’ah.

PEMBAHASAN
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)  dengan tiada mendapat jasa timbal yang langsung dapat  ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Sedangkan pajak menurut syari’ah secara etimologi, pajak dalam bahasa arab disebut dengan istilah dharibah yang berasal dari kata dharaba yang berarti mewajinkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau membebankan. Menurut istilah dharabah adalah harta yang dipungut secara wajib oleh negara untuk selain jizyah dan kharaj, sekalipun keduanya secara awam bisa dikategorikan dharibah.
Ada tiga ulama yang mendefinisikan tentang pajak, yaitu Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh Az-zakah, Gazi Inayah dalam kitabnya Al-iqtisha al-islami az-zakah wa ad-dharibah, dan Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-amwal fi daulah al-khilafiyah, yang ringkasannya sebagai berikut :
1.      Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara, dan hasinya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisasi sebagai tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara.
2.      Gazi Inayah berpendapat bahwa pajak adalah kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang yang bersifat mengikat tanpa ada imbalan tertentu. Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan si pemilik harta dan dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan pangan secara umum dan untuk memenuhi tuntutan politik keuangan bagi pemerintah.
3.      Abdul Qadim Zallum berpendapat bahwa pajak adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitulmal tidak ada uang atau harta.


Macam-macam pajak dalam Islam :
1.      Pajak penghasilan (PPh) menurut syari’ah
Pajak penghasilan boleh dipungut karena objeknya adalah harta (al-mal) bagi yang memiliki kelebihan (diatas PTKP), atau kaum muslim namun, perlu perbaikan dalam hal-hal berikut :
a)      Langkah pertama adalah membedakan atas wajib pajak muslim dan non muslim. Mekanisme yang dapat dilakukan adalah memberi kode tertentu pada nomor pokok wajib pajak muslim. Misalnya : 07.000.000.0.034.000.1. angka 1 merupakan kode muslim, 2 misalnya katolik. Bagi musim tetap dinamakan pajak (dharibah) dan bagi non-muslim dianggap jizyah (pajak).
b)      Kedua memungut pajak bukan atas nama badan usaha, melainkan atas perorangan (individu), karena dalam sistem ekonomi islam tidak mewajibkan pajak/zakat atas badan. Oleh karena itu, laba badan usaha harus dibagi badan per lembar saham pemilik, kemudian atas naa masing-masing pemilik dikenakan pajak (dharibah) perorangan.
c)      Menjadikan pembayaran zakat sebagai kredit pajak jenuh, seperti halnya di Malaysia. Kaum muslimin tidak boleh diberati dengan 2 pajak yang sama atas satu sumber. Dengan demikian, pada surat pemberitahuan tahunan, kolom zakat, letaknya adalah pada kredit pajak. Dari contoh diatas terlihat jelas perbedaan jumlah yang dibayar kaum muslim, jika zakat dijadikan kredit pajak atau hanya sebagai pengurang penghasilan.
d)     Menjadikan penerimaan zakat sebagai sumber penerimaan negara, dengan mata anggaran khusus. Tidak dicampur dengan sumber penerimaan yang lain. Hal ini mengingat pajak sudah sangat jelas penggunaannya untuk hal-hal khusus, sedangkan pajak termasuk penerimaan tidak resmi, sehingga penggunaannya bebeda dengan zakat.
e)      Penggunaan dana pajak (dharibah) hanya untuk hal-hal yang benar-benar diperlukan, yang merupakan kewajiban kaum muslim. Ia tidak dapat dipakai untuk kegiatan-kegiatan yang subhat, apalagi yang haram.
2.       Pajak pertambahan nilai (PPN) menurut syari’ah
a)      PPN dan PTLL dikenakan kepada masyarakat, karena konsumsi barang atau jasa tertentu. Dikenakannya pajak karena mengkonsumsi barang atau jasa tertentu seperti ini, penulis tidak menemukan dalil yang memerintahkannya dari Al-Qur’an, hadits, ijma’ maupun qiyas.
b)      PPN juga sulit membedakan antara orang kaya dan miskin. Jika yang terkena adalah orang miskin, hal ini tentu menjadi haram.
c)      PPN akan sangat membebani perekonomian (in-efisien) dan menyebabkan harga-harga barang dan jasa termasuk barang-barang kebutuhan pokok jauh diatas harga sewajarnya.
3.      Pajak bumi dan bangunan menurut syari’ah
a)      Atas kaum muslim di nIndonesia tidak boleh dipungut pajak bumi dan bangunan (PBB), termasuk juga terhadap non-muslim. Karena tanah yang mereka tinggali bukan termasuk tanah kharijiyah
b)      Jika PBB memungut pajak terhadap tanah dan bangunan, maka hal ini adalah kedzaliman. Sebab atas hasil usaha mereka telah dipungut ‘ushr (zakat) bagi kaum muslim dan jizyah (pajak kepala) bagi non-muslim.
c)      Kharaj termasuk penerimaan negara resmi atas non-muslim atas tanah kharijiyah, namun karena Indonesia bukan termasuk tanah kharijiyah, maka PBB tidak boleh dipungut.
Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri. Adapun dalil secara umum, semisal firman Allah :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
Artinya :Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.[1]
Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya.
            Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, diantaranya bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diazab) di neraka”[2]
            “dari Abu Khoir Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata : “ Masalamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : “sesungguhnya para penarik/ pemungut pajak (diazab) dineraka”[3]. Berkata syaikh Al-Albani rahimahullah : “(karena telah jelas keabsaan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami’, dan kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab Shahih At-Trghb”
            Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr. Rabi Al-Madkhali Hafidzullah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal.45 Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah SAW bersabda :
“ Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh daia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi SAW memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi SAW menshalatinya, lalu dikuburkan.[4]
            Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah: “Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti”
Pendapat ulama tentang pajak :
a.       Ulama yang berpendapat bahwa pajak itu boleh
Pajak diperbolehkan karena alasan kemaslahatan umat. Oleh karena itu, pajak memang merupakan kewajiban warga negara dalam sebuah negara Islam, tetapi negara berkewajiban pula untuk memenuhi dua kondisi (syarat) :
·         Penerimaan hasil-hasil pajak harus dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan pajak.
·         Pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata di antara mereka yang wajib membayarnya.
Sejumlah fuqaha dan ekonomi islam yang menyatakan bahwa pemungutan pajak itu diperbolehkan, antara lain :
1.      Abu Yusuf dalam kitabnya al-kharaj, menyebutkan bahwa : semua khulafaurrasyidin terutama Umar, Ali, dan Umr bin Abdul Aziz dilaporkan telah menekan bahwa pajak harus dikumpulkan dengan keadilan dan kemurahan, tidak diperbolehkan melebihi kemampuan rakyat untuk membayar, juga jangan sampai membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka sehari-hari.
2.      Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah Pajak pada semua orang dengan keadilan dan pemerataan, perlakuan semua orang sama dan jangan memberi pengecualian kepada siapapun karena kedudukannya dalam masyarakat atau kekayaan, dan janagan mengecualikan kepada siapapun sekalipun petugasmu sendiri atau kawan akrabmu. Dan jangan kamu menarik pajak dari orang melebihi kemampuan membayarnya.
3.      Hasan Al-Banna dalam kitabnya Majmuatur Rasa’il mengatakan : melihat tujuan keadilan sosial dan distribusi pendapatan yang merata, maka sistem perpajak progresif tampaknya seirama dengan sasaran-sasaran Islam.
4.      Menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmatur Fatawa mengatakan larangan penghindaran pajak sekalipun itu tidak adil bedasarkan argumen bahwa tidak membayar pajak oleh mereka yang berkewajiban akan mengakibatkan beban yang lebih besar bagi kelompok lain.
Alasan Ulama membolehkan pajak
1.      Zallum berpendapat
“Anggaran belanja negara pada saat ini sangat besar dan berat. Setelah meluasnya tanggung jawab, ulil amri dan bertambahnya perkara-perkara yang harus subsidi. Kadangkala pendapatan umum yang merupakan hak baitul mal seperti fa’iz, jizyah, kharaj, ‘usyur dan khumus tidak memadai untuk anggaran belanja negara, seperti yang pernah terjadi dimasa lalu, yaitu masa Rasulullah SAW, masa khulafaur rasyidin, masa Muawiyah, masa Abasiyah sampai masa Utsmaniyah, dimana sarana kehidupan semakin berkembang. Oleh karena itu, negara harus mengupayakan cara lain yang mampu menutupi kebutuhan pembelanjaan baitul mal, baik dalam kondisi ada harta maupun tidak”.
2.      Maliki berpendapat
“karena menjaga kemaslahatan umat melalui berbagai sarana-sarana seperti keamanan, pendidikan, dan kesehatan adalah wajib, sedangkan kas negara tidak mencukupi, maka pajak itu menjadi wajib. Walaupun demikian, syara’ mengharamkan negara menguasai harta benda rakyat dengan kekuasaannya. Jika negara mengambilnya dengan menggunakan kekuatan dengan cara paksa, berarti itu merampas, sedang merampas hukumnya haram”.
3.      Umer Chapra berpendapat
“sesungguhnya tidak realitis bila sumber perpajakan (pendapat) negara-negara muslim saat ini harus terbatas hanya pada lahan pajak (pos-pos penerimaan) yang telah dibahas oleh para fuqaha. Situasi telah berubah dan mereka perlu melengkapi sistem pajak (baru) dengan menyertakan realitas perubahan, terutama kebutuhan massal terhadap infrastruktur sosial dan fisik bagi sebuah negara berkembang dan perekonomian modern yang efisien serta komitmen untuk merealisasikan maqashid dalam konteks hari ini. Sambil melengkapi sistem pajak, kita perlu memikirkan bahwa sistem tersebut tidak saja harus adil, tetapi juga harus menghasilkan, tanpa berdampak buruk pada dorongan untuk bekerja, tabungan dan investasi, serta penerimaan yang madai sehingga memungkinkan negara Islam melaksanakan tanggung jawabnya secara kolektif”.

Ulama yang berpendapat bahwa pajak itu haram:
            Disamping sejumlah fuqaha yang menyatakan pajak itu boleh dipungut, sebagian lagi fuqaha mempertanyakan (menolak) hak negara untuk meningkatkan sumber-sumber daya melalui pajak, selain zakat antara lain:
·         Dr.Hasan Turobi dari Sudan, dalam bukunya principle of governance, freedom, and responsibility in Islam, menyatakan bahwa pemerintahan yang ada di duniamuslim dalam sejarah yang begitu lama “ pada umunya tidak sah”. Karena itu, para fuqaha khawatir jika diperbolehkan menarik pajak akan disalahgunakan dan menjadi suatu alasan penindasan.
Secara nilai, ketentuan pajak sangat berfungsi untuk menstabilkan ekonomi dan mengurangi permintaan agregat, khususnya dalam permintaan konsumtif non-produktif dan berlebihan (israf) yang tidak disukai oleh Allah SWT. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan kebijakan pajak adalah pada bagaimana pembebanan pajak awal dilakukan, struktur tarif apa yang digunakan, bagimana dasar kewajiban pajak itu ditentukan, dan seberapa luas cakupan pembebanan tersebut. Kebijakan-kebijakan terhadap penyesuaian pajak akan berimplikasikan terhadap faktor produksi maupun produk, dan perubahan ini akan mempengaruhi perubahan neraca rumah tangga baik dari sisi sumber maupun penggunaannya, dan perubahan dalam menentukan beban distribusi.
Secara umum, prinsip-prinsip yang berkenaan dengan perpajakan optimal dapat dibedakan menjadi :
·         Dalil umum yang menyatakan bahwa berbagai macam orang harus dipajaki secara proposional dengan kemanfaatan (benefit) yang dapat diharapkan berasal dari kegiatan pemerintah.
·         Prinsip umum yang menghendaki perpajakan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan terciptanya pola (pengorbanan) yang diinginkan. Atau dengan kata lain, perpajakan harus ditujukan pada pencapaian yang oleh masyarakat dianggap sebagai redistribusi yang layak dan adil dari pendapatan yang ditentukan oleh pasar.

Sistem perpajakan dalam negara Islam bersifat dinamis dan bernilai keadilan yang menekan pada 5 prinsip kaidah ushul yang telah dikembangkan selama berabad-abad oleh fuqaha untuk menyediakan sebuah basis rasional dan konsisten bagi perundang-undangan Islam :
1.      Kriteria pokok dari semua alokasi pengeluaran harus diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat.
2.      Penghapusan kesulitan dan bahaya harus didahulukan daripada penyediaan pelayanan publik.
3.      Kepentingan mayoritas yang lebih besar harus didahulukan daripada kepentingan minoritas yang lebih sempit.
4.      Pengorbanan atau kerugian pribadi yang dibebankan untuk menyelamatkan kerugian publik, satu pengorbanan atau kerugian yang lebih besar dapat dihindari dengan merelakan suatu pengorbanan atau kerugian yang lebih kecil.
5.      Siapa saja yang menerima manfaat harus membayar ongkos.
            Para fuqaha yang mendukung perpajakan memberikan catatan bahwa sistem perpajakn tersebut harus adil dan seirama dengan spirit Islam. Beberapa indikator sistem perpajakan memenuhi ketentuan-ketentuan: dinamis sesuai dengan kemampuan rakyat, pajak dikenakan untuk pengeluaran yang benar-benar diperlukan realisasi maqashid asy-syari’ah, dan pendapatan dari pajak didistribusikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara proposional.
Imam Malik menyebutkan lima syarat negara dapat melaksanakan pengenaan pajak :
1.      Bayak revenve (pemasukan) reguler yang habis.
2.      Banyak pengeluaran pertahanan melebihi sumber daya yang ada.
3.      Perpajakan dipungut secara sementara.
4.      Pajak-pajak diadakan hingga tingkat yang tidak melebihi kebutuhan.
5.      Pajak-pajak dipungut hanya terhadap kaum yang kaya.
            Semua Khulafa Ar-Rasyidin terutama Umar, Ali dan juga Umar bin Abdul Aziz menekankan pajak harus dikumpulkan dengan keadilan dan kemurahan, tidak diperbolehkan melebihi kemampuan rakyat yang membayar, juga janagan sampai karena pungutan pajak tersebut kemudian membuat rakyat tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
            Kesepakatan para sahabatdan para ilmuwan muslim bahwa praktik perpajakan pada masa klasik berdasarkan prinsip-prinsip :
a.       Penetapan para wajib pajak, selain dari orang yang disebutkan dengan jelas dalam syari’ah, ada tiga prinsip utama :
1.      Pajak hanya dipungut terhadap kaum kaya kapasitas finansial yang merupakan suatu kriteria dasar dalam menentukan liabilitas pajak.
2.      Pajak atas perolehan modal dan laba rezeki yang tidak disangka-sangka (windfil).
3.      Bea-bea yang lazim terhadap para pedagang non-muslim boleh dipungut, terutama bila masuknya barang-barang dagangan luar negeri yang ditentukan oleh perjanjian yang menspesifikasikan kewajiban terhadap bea-bea yang didasarkan atas dasar timbal balik.
b.      Prosedur pembebanan pajak dan penghimpunan pajak harus mengedepankan prinsip-prinsip penting :
1.      Pembebanan semua revenue (zakat, kharaj, jizyah, dan pajak) harus adil dan mudah. Pembayaran harus diberi rasa menyenagkan dan kepuasan, kesalahan-kesalahan harus dibebankan kepada penilai, dan klaim pembebasannya, seperti hutang-hutang dapat diterima kecuali jika ada bukti yang jelas bertentangan.
2.      Beban kewajiban harus didistribusikan secara merata di antara orang-orang yang sederajat. Keadilan dalam distribusi beban (burden) dari banyak revenue negara menunjukkan bahwa insidensi (timbulnya) beban pajak merupakan salah satu materi yang menjadi masalah dalam analisis akhir.
3.      Banyak kaidah fuqaha yang tidak mencantumkan tentang ketidak adilan pajak atau retribusi yang memungkinkan karena suatu tindakan yang akan mengakibatkan ketidakadilan yang lebih besar lagi.
Perbedaan pajak Islam dan pajak non-islam adalah :
·         Pajak (dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat continue, hanya boleh dipungut ketika di baitul mal tidak ada harta atau kurang. Ketika di baitul mal sudah terisi kembali, maka kewajiban pajak bisa dihapuskan. Berbeda dengan zakat, yang tetap dipungut, sekalipun tidak adda lagi pihak yang membutuhkan (mustahik).
Sedangkan pajak menurut non-muslim adalah besifat abadi (selamanya).
·         Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih. Sedangkan pajak yang ditujukan untuk seluruh warga tanpa membedakan agama.
·         Pajak (dharibah) hanya diambil dari kaum muslim dan tidak dipungut dari kaum non-muslim. Sebab, dharibah dipungut untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban bagi kaum muslim, yang tidak menjadi kewajiban non-muslim.
Sedangkan teori pajak non-muslim tidak membedakan muslim dan non-muslim dengan alasan tidak boleh diskriminasikan.
·         Pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya, tidak dipungut dari selainnya. Orang kaya adalah orang yang memiliki kelebihan harta dari pembiayaan kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya dan keluarganya menurut kelayakan masyarakat sekitarnya. Sedangkan pajak non-islam, kadangkala juga dipungut atas orang miskin, seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) atau PPN yang tidak mengenal siapa subjeknya, melainkan melihat objek (barang atau jasa) yang dikonsumsi.
·         Pajak (dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan, tidak boleh lebih, sedangkan pajak non-islam tidak.
·         Pajak (dharibah) dapat dihapus sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan, tidak boleh lebih, sedangkan pajak non-islam tidak.
·         Pajak (dharibah) dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan.
Sedangkan menurut teori pajak non-islam, pajak tidak akan dihapus karena hanya itulah sumber pendapatan.
  
  
KESIMPULAN
ü  Pajak (dharibah) sebagai sumber penerimaan negara, ternyata ada (terdapat) dalam sistem ekonomi Islam. Namun adanya bukan berdasarkan nash Al-Qur’an atau hadits, melainkan karena ijtihad Ulama.
ü  Pajak (dharibah) berbeda dengan pajak (tax) sebagaimana terdapat dalam sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis.
ü  Pajak (dharibah) berbeda dengan zakat. Pajak (dharibah) adalah kewajiban lain selain zakat. Oleh sebab itu, zakat seharusnya menjadi pengurangan (kredit) pajak terutang.
ü  Pajak (dharibah) juga berbeda dengan jizyah, kharaj, dan ‘ushr, sekalipun jizyah, kharaj, dan ‘ushr sering juga diterjemahkan sebagai pajak.
ü  Hukum pajak dalam Islam masih terdapat penyelisihan antara ulama. Ada yang membolehkan dan ada juga yang mengharamkan, sesuai dengan alasan masing-masing.
ü  Menurut kelompok kami, pajak dalam Islam hukumnya boleh dengan tujuan kemaslahatan umat dan tentunya sesuai dengan syari’ah ajaran Islam.


[1]  QS An-Nisa :29
[2] HR Ahmad dan Abu Daud
[3]  IBID
[4] HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar