Selasa, 23 Februari 2016

radikalisme dalam agama di Indonesia

A.    PENDAHULUAN
Kekerasan adalah sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik maupun ataupun secara verbal yang  mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan dan martabat seseorang. Kekerasan adalah fenomena politik dan sosiologis baik secara horisontal dan vertikal dalam banyak dimensi dan karakteristik .Selama bertahun-tahun Indonesia telah mengalami berbagai kasus yang berkaitan dengan kekerasan . Jenis tertentu kekerasan, seperti kekerasan berbasis agama ,sering terjadi dan melibatkan pernah sering dan kepentingan politik. Kekerasan merupakan fenomena politik dan sosiologis yang bersifat universal. Kekerasan sebenarnya adalah sebuah perang antara dua insting yang saling berbeda dan menginginkan untuk menang dengan cara perusak sebagai insting kehidupan.
Kekerasan memiliki umur yang sama dengan manusia. Sejak manusia berada dimuka bumi, maka kekerasan itu hadir dalam kehidupan. Wujud kekerasn nampak dalam kehidupan manusia, salah satunya adalah kekerasan dalam agama. Agama tidak hanya memiliki dimensi positif saja yang dijadikan common ground dan pondasi teologis untuk membangun hubungan antar agama yang lebih sehat, dinamis, berkualitas dan manusiawi yang penuh dengan semangat toleransi dan pluralisme, tetapi juga memilki dimensi negatif yang mampu melahirkan tindakan kejahatan dan kekerasan.
Menurut Geertz, kekerasan merupakan bagian dari strukturasi makna-makna dalam kebudayaan sebagai bagian fundamental dari usaha pernyataan kekuasaan yang terkait dengan nilai yang melekat dalam kebudayaan ataupun ideologi, termasuk agama, serta melekat dalam sistem pembilahan masyarakat secara askriptif.[1] Kekerasan bisa dikatakan eudaemonisme[2] yang mana menghindari rasa sakit untuk meraih keinginan dan kepuasan. Menurut Locke, apabila manusia merasakan kesulitan maka akan melakukan sesuatu sejauh apapun sampai kesulitan itu dapat disingkirkan.[3] Jadi, apapun yang menjadi penghambat seseorang dalam mengahadapi kesulitan, maka apabila orang itu belum puas maka akan melakukan tindakan kekerasan kendatipun hal ini akan membuat kerusakan orang sekitar.
Kekerasan bukan hanya terjadi dikalangan individu saja, melainkan di negara juga terdapat kekerasan, baik itu kekerasan dalam pemerintahan, politik dan juga kekerasan di negara yang membawa nama agama. Di Indonesia saat ini kekerasan agama banyak sekali menjadi perdebatan dikalangan nitizen dikarenakan kekerasan agama memberikan efek perusak bagi suatu negara. Kekerasan agama dapat memberikan pandangan negatif seseorang tentang agama. Sebenarnya agama tidak pernah mengajarkan seseorang untuk memberikan kekerasan. Agama bersifar lembut, bukan bersifat agresif.
Seperti yang kita ketahui Indonesia mempunyai sistem pemerintahan yang berbentuk demokrasi. Demokrasi sekarang banyak mengajarkan perubahan bagi bangsa di Indonesia. Baik dari mempermudah masyarakat memberikan apresiasi, memberikan pendapat. Akan tetapi kebebasan yang terdapat dalam demokrasi memberikan dampak lain apabila tidak di kontrol oleh pemerintah.[4] Maka dari pada itu masih banyak masyarakat yang asal bertindak dengan  keinginanannya sendiri.  
Pada akhir-akhir ini dinamika umat Islam di Indonesia diramaikan  dengan berkembangnya berbagai komunitas atau gerakan religius yang mengembangkan seperangkat ajaran yang berbeda dengan ajaran Islam yang telah dipraktikkan oleh umat Islam selama ini. Berbagai pernyataan pemuka agama dan institusi keagamaan yang muncul sebagai respon terhadap komunitas tersebut, hingga lahirnya pernyataan sikap yang mencap aliran-aliran keagamaan atau komunitas religius tersebut sebagai aliran sesat atau komunitas sesat. Apabila dirunut ke belakang, jauh sebelumnya sudah sejumlah aliran keagamaan sempalan di Indonesia, yang mungkin karena struktur masyarakat muslim Indonesia yang heterogen dan sikap akomodatif masyarakat muslim menyebabkan aliran-aliran keagamaan sempalan tersebut mudah diterima hingga tumbuh subur dan berkembang. Satu yang sangat disayangkan -untuk tidak menyebutnya disesalkan-- adalah meskipun disinyalir bahwa aliran-aliran keagamaan yang muncul dan berkembang di Indonesia cukup banyak, namun tidak ada satu pun institusi keagamaan yang memiliki data konkrit tentang aliran-aliran tersebut, baik menyangkut nama-nama aliran keagamaan apa saja yang berkembang, tokoh-tokohnya, aspek-aspek ajarannya, maupun inventarisasi jumlah pengikutnya.[5]
Di Indonesia saat ini kita akan banyak menemukan kekerasan yang dilakukan dengan dasar agama. Penyalahan maknalah yang membuat orang akan berbuat yang lain dengan yang diajarakan oleh agama. Pemikiran orang terhadap sesuatu yang melenceng dari pemikirannya akan membuat seseorang akan berbuat keras. Pola pemikiran yang tidak sejalan akan membuat keresahan dengan orang lain dan akan berakibat terjadinya sebuah kekerasan. Orang atau kelompok yang belum mengerti akan agama banyak yang menyalahgunakan arti yang terdapat dalam kitab sucinya. Misalnya gerakan kelompok al-Qaidah yang membuat anarkis dengan berdalil bahwa selain orang islam merupakan musyrik dan halal untuk dibunuh.
Memahami agama, tidak sebatas pada pemahaman secara formal, melainkan harus dipahami sebagai sebuah kepercayaan, sehingga akan bersikap toleran kepada pemeluk agama lain. Akan tetapi, bila seseorang hanya memahami agama secara formal saja maka ia akan memandang bahwa hanya agamanya saja yang mempunyai klaim kebenaran tunggal dan paling baik. Sementara itu agama lain dipandang telah mengalami reduksionisme (pengurangan), karena itu tidak benar dan kurang sempurna. Sikap ini memunculkan hegemoni agama formal sedemikian rupa sehingga agama lokal, agama suku ataupun agama kecil terpinggirkan oleh agama formal. Maka dari itu memahami agama hendaknya tidak hanya pada klaim kebenaran saja tetapi menginduksi dari interaksi sosial keagamaan antar umat beragama yang akan memunculkan sikap toleransi terhadap agama lain.
Pemikiran yang bersumber pada pemahaman semata tidaklah bagus. Karena tidak secara cermat meneliti maksud yang terkandung dalam kitab suci tersebut.
Empat faktor sosiologis yang menyebabkan tumbuh dan berkembangnya aliran-aliran keagamaan sebagaimana terdahulu, yaitu pertama, tingkat pengetahuan agama masyarakat muslim masih rendah. Dalam hal ini pengetahuan agama yang rendah dapat memberikan dampak negatif dalam kehidupan beragama. Kedua, pragmentasi otoritas keagamaan terus berlangsung tanpa kendali. ketiga, institusi keagamaan tradisional tidak berperan sebagaiman harapan ideal masyarakat. Keempat, kecenderungan praktis-pragmatisme masih ada dalam tubuh umat Islam, maka selama itu pula potensi muncul dan berkembangnya aliran-aliran keagamaan.[6]
 Dalam hal ini saya akan membahas tentang bentuk kekerasan yang mengatas namakan agama. saya anggap menarik dikarenakan apa yang menjadi motif bagi kelompok keras atau radikal dalam negara dengan mengatas namakan agama. Pembahasan ini akan melihat dari faktor yang menjadikan radikalisme ada dalam kehidupan beragama.


B.     RUMUSAN MASALAH
Dari pemaparan diatas maka dalam makalah ini diambil sebuah rumusan masalah yaitu :
1.      Apa tujuan dan motif seseorang atau kelompok dalam kekerasan yang membawa nama agama?

C.    PEMBAHASAN
Demokrasi adalah menjadi sebuah sistem pemerintahan di Indonesia saat ini. Demokrasi diidentikkan dengan kebebasan mengungkapkan pendapat. Jika kebebasan berpendpat ini dihalangi, maka demokrasi sebagai sistem politik merasa terancam. Di Indonesia saat ini, kebebasan berpendapat belum menjadi sarana utama dan eksklusif bagi tindakan politik.
Radikalisme yang dari bahasa latin radix berarti akar adalah sebuah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung gerakan radikal. Secara historis gerakan radikal yang dimulai di Britania Raya meminta reformasi sistem pemilihan secara radikal. Pada tahun 1689, pergantian menteri telah meruntuhkan independensi parlemen terpilih dengna cara penyalah gunaan patronase, penyuapan sistematik, dan praktik melawan hukum.[7] Pada awalnya gerakan ini hanya sebagai partai kiri yang menentang partai kanan. Akan tetapi pada abad ke-19 radikalisme mulai terserap kedalam perkembangan politik yang liberal. Jadi secara kesimpulan bahwa asal mula tindakan radikal muncul dari salah satu aliran politik bukan dari ajaran agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa radikalisme itu bukan bersumber dari ajaran agama. Melainkan dari kelompok politik partai.
Radikalisme bisa juga menjadi kesalah pahaman dalam agama yang menimbulkan gerakan radikal di suatu tempat.  Namun ada yang perlu diketahui bahwa tuduhan radikalisme yang ditujukan kepada umat Islam baru dikenal beberapa tahun silam, yang mana awal mula adanya tudingan ini berdasarkan perang dingin antara dua negara yaitu Uni Sovyet dan Afganistan. Pada perang ini Afganistan megalahkan Uni Sovyet. Karena kemenangan inilah yang membuat negara-negara Islam lainnya menginginkan hal yang sama. Karena tidak ingin tundukkan atas cengkraman negara tersebut dan menginginkan melepaskan dirinya.
Akan tetapi ada suatu hal yang mengherankan dikarenakan adanya pernyataan bahwa orang radikal adalah yang mempunyai jenggot, celan cingkrang dan selalu membawa mushaf kecil. Dari sinilah yang membuat kesalah pahaman orang dalam mengetahui radikalisme. Pernyataan ini yang membuat orang lain terpengaruhi dengan kata radikalisme yang malah mencondong kepada umat Islam. di lain itu juga banyak orang yang belum tau menau tentang radikal. Pandangan masyarakat bahwa radikal itu brutal dan tidak mempunyai aturan dan tidak memandang makhluk hidup. Di lain pihak orang yang bukan beragama islam akan mencoreng nama Islam dikarenakan Islam identik dengan kekerasan.
Munculnya isu-isu politis tentang radikalisme islam merupakan suatu tantangan baru bagi umat islam untuk menjawabnya. Banyak sekali anggapan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menyebut bahwa gerakan Islam itu adalah radikal, mulai dari kelompok garis keras, ektremisme, militan, Islam kanan, fundametalisme, sampai ke terorisme. Setelah negara barat hancur tentang ideologi komunisme nya memandan islam adalah sebagai gerakan agama yang menakutkan.[8]
Istilah radikalisme untuk menyebut kelompok garis keras dipandang lebih tepat dari pada fundamentalisme dikarenakan fundamentalis memiliki makna yang dapat ditafsirkan. Dalam pandangan orang barat bahwa fundamentalisme mempunyai arti sebagai paham orang yang ekstrim dengan kelakuannya yang tidak segan-segan dalam perilakunya berdampak kekerasan untuk mempertahankan ideologinya. Apabila dalam Islam, Fundamentalisme adalah tajdid ( pembaharuan) yang mana berdasarkan moral yang terdapat dalam al-Quran dan as-sunnah.[9] Fundamentalisme juga bisa diartikan sebagai suatu gerakan anti-kebaratan (westernisme). Terkadang fundamentalisme diartikan sebagai radikalisme dan terorisme yang disebabkan bahwa gerakan fundamentalisme memiliki implikasi politik yang membahayakan negara-negara industri di barat.
Radikalisme sering mengatas namakan Islam, oleh karena itu Radikalisme Islam senantiasa menjadi wacana walau radikalisme agama-agama lainnya juga ada. Paham radikalisme Islam seringkali muncul ketika menghadapi kebijakan pemerintah dan kondisi sosial ekonomi dan budaya yang dipandang dapat mengancam penerapan ajaran agama Islam yang diyakini pemeluknya secara mutlak benar. Kelompok radikal seringkali merasa bertanggung jawab dan wajib memperjuangkan keyakinan agama Islam secara benar .Semangat ini mengilhami gerakan radikalisme di Indonesia, ditambah dengan sentimen anti Barat sebagai perlawanan terhadap sistem perekonomian kapitalisme.
Radikalisme atau fundamentalisme tidaklah muncul dari ruang hampa. Dalam teori sosial, radikalisme adalah sebuah gerakan yang terkait atau disebabkan oleh fakta lain. Dalam pandangan orang sosial atau masyarakat bahwa ada tiga asumsi yang mendasari keseluruhan cara berpikirnya, yaitu terdapat keteraturan sosial (social order), terdapat perubahan sewaktu-waktu dan tidak ada fakta yang berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya. Maksudnya bahwa radikalisme akan muncul apabila ada fakta yang menyebabkan gerakan ini merasa tidak sesuai dengan ideologinya maka gerakan ini akan muncul seketika. Jadi bentuk gerakan radikal bukan setiap waktu akan memberikan bentuk kekerasan saja melainkan adanya sumber yang membuat gerakan ini akan mulai bergerak.
Dalam bidang keagamaan, fenomena radikalisme agama tercermin dari tindakan-tindakan destruktif-anarkis atas nama agama dari sekelompok orang terhadap kelompok pemeluk agama lain (eksternal) atau kelompok seagama (internal) yang berbeda dan dianggap sesat. Termasuk dalam tindakan radikalisme agama adalah aktifitas untuk memaksakan pendapat, keinginan, dan cita-cita keagamaan dengan jalan kekerasan. Radikalisme agama bisa menjangkiti semua pemeluk agama, tidak terkecuali di kalangan pemeluk Islam. Lebih detil, Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalisme. Pertama, menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketata negaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya berada di Timur Tengah secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika Al-Quran dan hadits hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian.
Ketiga, karena perhatian lebih terfokus pada teks Al-Qur’an dan hadist, maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bid’ah. Keempat, menolak ideologi Non-Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisme. Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada Al-Qur’an dan hadist. Kelima, gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah.[10]
Islam radikal memahami Islam sebagai agama yang sempurna dan lengkap, dan memberikan perhatian kepada otentisitas kultural. Namun Islam bukanlah agama dalam pengertian barat, tetapi Islam adalah cara hidup yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Posisi ini berbeda dari kaum sekularis yang menolak intervensi agama dalam kehidupan publik, trutama politik. Manifestasi dari pandangan radikal adalah pada keharusan untuk mendirikan negara Islam yang didasarkan pada syari‟ah. Perbedaan antara kaum radikal dan modernis adalah penegasan yang pertama terhadap keunikan Islam.[11]
Dalam studi Islam dengan pendekatan sosiologis, berkembang beragam pendapat tentang latar belakang muncul dan berkembangnya aliran-aliran keagamaan, di antaranya adalah seagai berikut:
1.      Sejumlah ulama melihat bahwa muncul dan berkembangnya aliran keagamaan disebabkan oleh ketidaktahuan para penganutnya terhadap ajaran Islam dan berbagai aspeknya.
2.      Menurut Azyumardi Azra, muncul dan berkembangnya beragam aliran atau paham keagamaan yang menyimpang dari paham keagamaan dan mainstream yang berlaku dipercepat oleh kenyataan yang berlangsungnya perubahan-perubahan sosial-ekonomi yang begitu cepat dengan sedikit latah, bisa juga disebabkan oleh globalisasi yang menimbulkan disrupsi disorientasi, atau dislokasi psokologis dalam kalangan tertentu masyarakat. Selain itu, kemunculan mereka juga bisa di dorong oleh ketidakpuasan terhadap paham, gerakan atau organisasi keagamaan mapan, yang mereka pandang tidak mampu lagi mengakomodasi pengembaraan keagamaan mereka.
3.      Terdapat indikasi kuat telah terjadi fragmentasi otoritas atas interpretasi teks kitab suci (al-Qur’an) yang berimplikasi pada pergeseran otoritas keagamaan. Pergeseran posisi sentral ulama dalam masalah-masalah agama yang merupakan fenomena alamiah seiring telah terjadinya ortodoksi Islam dari Mekkah-Arab Saudi ke belahan dunia lain, seperti Mesir. Pergeseran ortodoksi dan kecenderungan fragmentasi ini terus berlangsung di Indonesia hingga sekarang.[12]
 Akar radikalisme dapat dilihat dari beberapa penyebabnya, antara lain: pertama, adanya tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya. Di beberapa belahan dunia, termasuk Indonesia fenomena radikalisme atau fundamentalisme muncul sebagai akibat otoritarianisme.[13] Dalam kasus Orde Baru, negara selalu membabat habis yang diidentifikasi sebagai gerakan radikal. Baginya radikalisme adalah musuh nomer satu dan dijadikan sebagai common enemy melalui berbagai media transformasi. Radikalisme kiri dan kanan sama saja. Semua bentuk gerakan radikal pada masa orde baru tidak dapat bergerak bebas, dikarenakan semua yang dilakukannya akan cepat tercium oleh pemerintah. Begitu kerasnya tekanan terhadap gerakan radikal kiri ini, banyak para tokohnya yang ditangkap, disiksa, bahkan ada yang hilang tidak tentu rimbanya. Orde Baru juga sangat keras terhadap radikalisme kanan. Di antara yang paling menonjol adalah isu Komando Jihad di pertengahan tahun 1980-an. Banyak tokoh Islam yang diidentifikasi sebagai pemimpin atau anggota Komando Jihad yang ditangkap dan ditahan. Usaha untuk memberangus gerakan-gerakan radikal Islam itu pun terus berlangsung sampai periode munculnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di pertengahan tahun 1990-an. Abdul Aziz Thaba membuat tipologi hubungan antara Islam dan Negara dalam tiga kategori, yaitu hubungan antara Islam dan Negara yang bercorak antagonistis, resiprokal kritis, dan hubungan antara Islam dan Negara yang saling membutuhkan. Hubungan antagonistis terjadi di awal Orde Baru sampai awal tahun 1980-an[14].
Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Lebih tepat dikatakan hal itu sebagai faktor emosi keagamaannya dan bukan agama (wahyu suci yang absolut), karena gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad, dan mati sahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif, yakni nisbi dan subjektif. Keterlibatan faktor emosi keagamaan ini nyata ditunjukkan dengan terjadinya kerusuhan massal di awal reformasi, ratusan gereja dan tempat usaha etnis Cina dibakar, dirusak, dan dijarah. Contoh Kekerasan yang terjadi misalnya pembakaran gereja, membakar semua toko cina pada masa orde baru, kekerasan kelompok FPI dengan Ahmadiyah di Cikeusik, kerusuhan di Temanggung, Lombok, dan kerusuhan Syiah dan NU di Madura yang berlatar agama.
Ketiga, faktor kultural ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatar belakangi munculnya radikalisme. Bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai antitesis terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang mana harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban Barat sekarang ini merupakan ekspresi dominan dan universal umat manusia.
Kebuadayaan Barat telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan Muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Walaupun begitu barat sangat cepat membuat negara lain ikut masuk kedunia barat. Barat dengan sekularismenya sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa Timur dan Islam sekaligus dianggap bahaya terbesar dari keberlangsungan moralitas Islam. Hal ini bisa dilihat dari perubahan perubahan sehari-hari, seperti semakin masifnya pola konsumsi umat beragama pada produk-produk Barat, misalnya ATM, handphone, internet, dan produk global lainnya. Era globalisasi inilah yang membuat barat semakin merajalela dengan kebudayaannya yang mana kebudayaannya tidak cocok dengna kehidupan orang yang berada di negara Timur.[15]
Keempat, faktor ideologis anti-kebaratan (westernisme). Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengaplikasikan syariat Islam, sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syariat Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti-Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidak mampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai lawan dari budaya dan peradaban. Yudi Latif menandaskan, munculnya terorisme disebabkan karena tidak berjalannya konsep rasa keadilan. Teroris muncul karena munculnya skeptisisme[16] terhadap demokrasi. Demokrasi yang diyakini dapat memberikan suatu perubahan yang baik malah memberikan dampak negatif. Dari sini lah teroris itu merasa tidak cocok dengan ideologi yang dimilikinya, kekerasan adalah sumber untuk memberikan pengaruh dan peringatan kepada pemerintahan.
Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidak mampuan pemerintah di negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negara-negara Muslim belum atau kurang mengetahui dan mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat.
keenam, faktor media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim. Apabila kita mengetahui bahwa banyak sekali perfilman di barat yang memberikan suatu pemahaman yang berbeda terhadap agama Islam. banyak yang memutar balikkan fakta, dari sinilah pemikiran setiap orang dirubah dengan apa yang di berikan oleh barat. Dari sisi ini kelihatan bahwa westernisasi adalah sebagai perusak moral dan pemikiran seseorang. Era globalisasi yang mempunyai peran mempermudah setiap manusia disalah gunakan untuk memberikan dampak pemikiran yang berbeda kepada orang lain.
Akibat media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Kekerasan yang dilakukan oleh umat islam bukan berdalil untuk mengahancurkan setiap orang selain agama Islam, akan tetapi kekerasan dan bentuk radikal ini adalah sebagai sebuah peringatan dan tindak lanjut dari segenap umat Islam yang merasa direndahkan dan merasa dipojokkan oleh barat. Di samping Muslim sendiri masih belum selesai menata identitas diri, tema-tema yang diusung kelompok Islam radikal kerap kali menerapkan syariah Islam dalam negara yang dinilai Barat sangat “menakutkan”.
Suatu cara agar tindak kekerasan yang ada dalam agama tidak terjadi lagi adalah Arahan pertama terkait dengan bagaimana elite agama dapat menumbuhkan dengan cepat kesadaran akan pentingnya model agama yang modern. Di dalam agama yang modern ditandai dengan adanya penghargaan terhadap pluralitas yang tidak vakum diversitas dan vakum budaya. Manusia hidup dalam entitas yang heterogen. Maka agama akan menjadi mode of comunication yang tidak hanya vertikal tetapi juga horizontal. Agama sebagai model komunikasi berarti menuntut kesepahaman dan mengakui perbedaan dalam banyak hal tetapi juga memiliki kesamaan misi kemanusiaan.[17]

D.    KESIMPULAN
Kehidupan yang didambakan oleh manusia adalah kehidupan yang aman, tentram dan jauh dari kekerasan yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Kekerasan yang timbul memiliki tujuan dan maksud, bukan hanya kekerasan yang didasarkan keinginan untuk berbuat anarkis dalam kehidupan bernegara. Kekerasan mempunyai tujuan dalam bentuk ketidak senangan suatu kelompok dengan realita yang ada di kehidupan sehari-hari. Realita yang ada tidak sejalan dengan ideologi yang dimiliki oleh kelompok tertentu.
Radikalisme yang ada pada umat Islam bukan lah seperti anarkis yang dianggap oleh orang eropa barat dan Amerika Serikat. Orang barat menganggap bahwa umat islam itu adalah radikal selalu berbuat kekerasan. Padahal kekerasan yang dilakukan bukan sepenuhnya dari umat Islam. ini dapat juga sebagai politik yang merusak nama baik umat Islam di bumi ini. Era globalisasi mungkin adalah sebagai suatu alasan terjadinya radikalisme di bumi ini. Dikarenakan informasi yang dapat mudah diketahui membuat setiap orang memberikan argumen yang melenceng terhadap umat Islam.






E.     DAFTAR PUSTAKA
Aziz Thaba, Abdul, 1995, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta, Gema Insani Press.
Azra, Azyumardi, 1996, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalis, Modernisme hingga Post-Modernisme, Jakarta, Paramadina.
Choirul Ummah, Sun, 2012, Akar Radikalisme di Indonesia, Yogyakarta, Humanika.
Efriza, 2009, Ilmu Politik: dari ilmu politik sampai sistem pemerintahan, Bandung, Penerbit Alfabeta.
Haryatmoko, 2014,  Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.
Hazlitt, Henry, 2003, Dasar-Dasar Moralitas, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Imarah, Muhammad, 1999,  Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam. Terjemah oleh Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta, Gema Insani Press.
Lay, Corneli, 2009, Kekerasan atas Nama Agama: Perspektif Politik, Yogyakarta, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 13 , Juli 2009.
Qodir, Zuly, 2011,  Sosiologi Agama: Esai-esai Agama di Ruang Publik Yogyakarta,  Pustaka Pelajar.
Sumaryono, 1995, Etika Profesi Hukum, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Yacub Albarry, M. Dahlan, 2001, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya, Penerbit Arloka.



[1] Corneli Lay, Kekerasan atas Nama Agama: Perspektif Politik, ( Yogyakarta, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 13 , Juli 2009).
[2] Ialah aliran filsafat etika yang menafsirkan tentang tujuan manusia sehingga tercapat kebahagiaan yang paripurna akibat mekarnya segala potensi manusia. Eudamonisme memmpunyai dua macam yaitu yang besifat pribadi dan yang bersifat sosial. Lihat di buku E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1995), hlm 53.
[3] Henry Hazlitt, Dasar-Dasar Moralitas, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003), hlm 28.
[4] Haryatmoko,  Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2014) hlm104.
[5] Lihat di artikel Abbas Langaji, Dinamika Aliran Keagamaan Sempalan: Tinjauan Perspektif Sosiologi Agama, Annual International Confrence On Islamic Studies (AICIS XII).
[6] Ibid.
[7] Efriza, Ilmu Politik: dari ilmu politik sampai sistem pemerintahan, (Bandung, Penerbit Alfabeta, 2009), hlm 105-106.
[8] Sun Choirul Ummah, Akar Radikalisme di Indonesia, (Yogyakarta, Humanika, 2012).
[9] Muhammad Imarah,  Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam. Terjemah oleh Abdul Hayyie al-Kattani. (Jakarta, Gema Insani Press, 1999), hlm 22.
[10] Abdul Munif, Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah, Yogyakarta, Program Pascasarjana Uin Sunan Kalijaga, Prodi Pendidikan Islam.
[12] Lihat di artikel Abbas Langaji, Dinamika Aliran Keagamaan Sempalan: Tinjauan Perspektif Sosiologi Agama, Annual International Confrence On Islamic Studies (AICIS XII).
[13] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalis, Modernisme hingga Post-Modernisme, (Jakarta, Paramadina1996), hlm 18.
[14] Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta, Gema Insani Press. 1995)
[15] Zuly Qodir, Sosiologi Agama: Esai-esai Agama di Ruang Publik, (Yogyakarta,  Pustaka Pelajar, 2011), hlm 23.
[16] Yaitu keraguan yang dimilki setiap orang, sangsi. Lihat di M. Dahlan Yacub Albarry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Penerbit Arloka, 2001) hlm 714.
[17] Sun Choirul Ummah, Akar Radikalisme di Indonesia, (Yogyakarta, Humanika, 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar