Selasa, 17 Mei 2011

isu isu gender

PENDAHULUAN
            Membincangkan jender, kini telah menjadi sebuah kebudayaan baru mengenai hubungan laki-laki dan perempuan. Jender merupakan konstruksi sosio budaya. Ia adalah label dari konstruksi hubungan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, yang lebih popular disebut relasi jender. Perilaku mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan disebut budaya jender. Sejak ada kesadaran sejarah mengenai perlunya kesetaraan antara hubungan laki-laki, jender terus diperjuangkan sebagai sebuah kebudayaan baru di masa datang.
            Sepanjang sejarah dalam bentangan beragama masyarakat, studi peneliti dan antara pemerhati jender, masih ada satu yang tetap berlaku dan menjadi kegelisahan berbagai pihak: hubungan laki-perempuan masih tetap bias jender. Relasi bias jender ini tersimpul ke dalam frase pendek ; stereotip, kelakian-keperempuanan, peran domestic-publik, dan posisi dominasi-tersubordinasi. Dalam ketiga dikotomi ini biasanya perempuan dikalahkan, dipinggirkan, mengalami kekerasan fisik dan simbolik, serta semuanya terangkum kedalam apa yang dikenal dengan konstruksi budaya hubungan laki-perempuan yang bias jender.
PEMBAHASAN
Faktor Penyebab Bias Jender
            Dalam berbagai studi jender paling sedikit ditemukan ada empat sumber utama yang menyumbang berlangsung nya bias jender ; penafsiran atas teks agama, budaya patriarkhi, pendidikan dan Negara. Hampir dari sebagaian riset jender menunjukkan bahwa sebenarnya sumber pertama dari berlangsungnya ketidakadilan jender adalah budaya patriarkhi: sebuah ideology dan system social dan budaya, laki-laki dianggap superior dihadapan perempuan, dominan dan mengendalikan hamper semua sumber-sumber penghasilan dan intusi sosial.
            Kebijakan pemerintah mengenai dibentuknya organisasi perempuan seperti IWAPI,PKK, Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, dirasakan bias jender. Betapa tidak, dalam organisasi seperti ini, para perempuan hanya dalam posisi disematkan (embedde) bagian dari dominasi laki-laki, dengan menjadikan wanita sebagai pendamping suami, merawat anak, dan mencari nafkah.
            UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pun bias jender. Pasal-pasal mengenai poligami dan kedudukan suami-istri dalam rumah tangga lebih banyak menguntungkan laki-laki dan menempatkan perempuan dalam posisi tawar yang lemah bahkan menjadi objek penderita. Pasal 506 KUHP yang berkaitan dengan pelacuran menunjukkan adanya ketidak adilan jender, dengan menempatkan perempuan sebagai objek pelacuran, padahal pelacuran itu terjadi karena lelaki “ hidung belang” juga melacurkan dirinya ; dan dalam realitas lelaki pun ada pelacur alias gigolo.
Cultural Turn  sebagai Strategi
            Seharusnya kita tidak lagi melihat pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin sebagai permasalahan dalam keluarga. Jadi, agar dapat dicapai kesetaraan jender diperlukan pembagian kerja, akses, dan mobilitas, tidak lagi dikait-kaitkan dengan jenis kelamin, tetapi berdasarkan kualifikasi dan kemampuan. Perjuangan kesetaraan jender kini dan masa datang harus diperlukan dua strategi yang perlu didorong secara simultan: pertama; Merombak tatanan kebudayaan yang patriarkhis melalui proses pembalikan budaya (cultural turn) menjadi budaya egaliter, dan kedua; menumbuhkan sebuah kesadaran baru mengenai masyarakat tanpa stereotip jender, tanpa pembedaaan atas laki-laki dan perempuan dalam kesempatan mobilitas.
Pemikiran Islam Dan Isu Kesetaraan Jender
            Isu kesetaraan jender muncul dari keperihatinan yang sangat mendalam atas ketertindasan kaum perempuan dan perlakuan tidak adil tehadap mereka hampir dalam seluruh ruang kehidupan mereka. Dalam kasus di Indonesia, wacana keagamaan selama ini telah memainkan peran signifikan dalam kehidupan individual dan sosial di masyarakat. Dalam kitab-kitab tafsir klasik, bahkan juga sejumlah tafsir kontemporer dapat ditemukan dengan mudah bagaimana perempuan secara teo-kosmologis diposisikan sebagai makhluk Tuhan kelas dua.
            Dalam penciptaan manusia misalnya, Adam, menurut banyak tafsir adalah manusia pertama yang diciptakan dan Hawa diciptakan dari Adam. Posisi perempuan juga dikemukakan al-Thabari, seorang yang dipandang sebagai guru besar para ahli tafsir (syaikh al-mufassir), ketika membicarakan masalah kejatuhan Adam dan Hawa dari syurga ke bumi. Menyatakan bahwa mereka terusir (dikeluarkan) dari surga gara-gara Hawa. “Allah bertanya kepada Adam: “Hai Adam, mengapa kamu melanggar perintah-Ku? Adam menjawab: “gara-gara Hawa.” Akibat dari ini Tuhan menghukum Hawa dengan tiga macam hukuman, yaitu : pertama, membuatnya berdarah (haid) setiap bulan, kedua, menjadi makhluk Tuhan yang bodoh (safiah) dan ketiga, melahirkan bayi dengan susah payah.
            Salah seorang perawi hadis mengomentari kisah diatas : Andaikan tidak karena Hawa, maka kaum perempuan tidak akan haid, menjadi manusia yang cerdas, dan melahirkan dengan mudah.” Tafsir ini menjadi basis menyudutkan kaum perempuan dalam agama. Perempuan kemudian menjadi sumber fitnah akal dan agama perempuan lebih rendah (naqisat aqlin wad dinin) dan perempuan adalah makhluk yang lemah. Aktivitas mereka dibatasi pada ruang-ruang yang sempit dalam rumah.
            Pernyataan paling menggelisahkan perempuan tentang hal ini dikemukakan oleh ahli tafsir terkemukan lainnya seperti, Abu Hayyan al-Andalusi dalam tafsirnya al-Bahr al-Muhith. Ia mengatakan dalam menghadapi istri yang nusyuz, suami pertama kali menasehatinya dengan lembut, jika tidak efektif boleh dengan kata-kata yang kasar, dan (jika tidak efektif) membiarkannya sendiri tanpa digauli, kemudian (jika tidak efektif) memukulnya dengan ringan atau dengan cara lain yang membuat nya tidak berharga, bisa juga dengan cambuk atau sejenisnya yang membuatnya jera karena sakit asal tidak mematahkan tulang dan berdarah.
            Meskipun konteks ayat An-Nisa’ berkaitan dengan urusan domestik, tetapi sejumlah pandangan ahli tafsir, ayat ini juga merujuk melalui analogis utama (qiyas awlawi) untuk menjustifikasikan ketidakabsahan perempuan menduduki jabatan-jabatan tertinggi dalam wilayah publik-politik. Pemikiran ini juga dikuatkan oleh sumber otoritatif lain yaitu hadits shahih yang secara eksplisit menegaskan ketidak beruntungan bangsa yang dipimpin presiden perempuan “lan yufliha qaumun wa law amrahum imra-atan” Argumen paling banyak dikemukakan lagi-lagi karena lemahnya akal dan fisik perempuan dan kehadirannya bersama laki-laki dapat menimbulkan fitnah atau berpotensi menggoda.
Tafsir Jender Dalam Wacana Islam
            Dalam banyak kasus, fikih terkesan mendiskriminasikan non muslim. Ini tentu bertentangan dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil al-‘amin, kebaikan untuk semua.  Seorang Buddhis menceritakan, hubungan nya dengan kerabat yang Kristen dan Islam sebelum medium 1980-an, sangat baik dan akrab. Akan tetapi sejak menerima fatwa para ulama bahwa tiga kebiasaan agama itu dilarang, sikap mereka berubah. Keakraban menjadi kebencian. Berdasarkan sebuah hadits, Rasulullah ketika ditanya tentang Islam yang mana yang  terbaik, dijawab,” memberikan makanan dan membaca salam kepada siapa saja yang engkau kenal dan tidak engkau kenal.” Ini menunjukkan bahwa sejatinya Islam adalah agama solidaritas dan kedamaian.
            Hal pertama yang harus menjadi perhatian kita adalah bahwa tafsir adalah cara seseorang penafsir berusaha mengungkapkan makna –makna teks yang menjadi acuan atau sumber legitimasi. Tegasnya, tafsir adalah produk pemikiran. Seperti adanya perbedaan pendapat antara mufasir dengan mufasir yang lainnya. Hal ini terjadi karena beberapa hal, antara lain: perbedaan prespektif, kecendrungan, kecerdasan intelektual, sumber informasi dan sebagainya.
            Kedua, adalah keniscayaan bahwa latar belakang sejarah sosial (termasuk politik, ekonomi, dan budaya) para ahli tafsir memberikan pengaruh yang signifikan bagi pikiran-pikirannya. Dr. Faruq Abu Zayd menyatakan kesimpulannya dengan tanpa ragu-ragu bahwa produk pemikiran para mujtahid adalah refleksi sosio-kultural dimana mereka hidup dan berhadapan. Sejarah selalu memperlihatkan dialektika perubahan yang terus menerus. Jika kaum muslim mengklaim bahwa Islam adalah “ shahih li kulli zaman wa makan” ( selalu sesuai dengan setiap zaman dan tempat), maka pikiran-pikiran keagamaan klasik tersebut harus diberi makna-makna baru yang relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi.
            Ketiga, kecendrungan umum dalam pemaknaan teks adalah pemaknaan literal dan mengabaikan pemaknaan substansial. Satu lafaz (teks) dimaknai menurut lahiriahnya, padahal didalam makna lahiriyah tersebut tersembunyi pesan-pesan fundamental yang ingin ditegakkan. Pesan fundamental agama paling tidak adalah keadilan dan kemaslahatan (kebaikan sosial). Ilmu-ilmu Al-Quran masih menyisakan teori-teori ini melalui apa yang dikenal dengan istilah “asbab an-nuzul,” dan lebih dari itu adalah apa yang diistilahkan al-Syatibi dengan “muqtadhayat al-ahwal” (konteks sosial) dan “al-adat” (tradisi-tradisi Arab).
Menuju Ke Arah Kesetaraan Jender Dalam Berfikih
            Fikih kesetaraan jender berangkat dari permasalahan yang berbeda dan menyeluruh mengenai universalisme dan kosmopolitanisme Islam. Universalisme fikih adalah prinsip-prinsip dasar yang sangat mengagungkan unsur-unsur utama kemanusiaan, yang dalam ilmu usul fikih dikategorikan kedalam lima hal mendasar (al-kulliyatul khamsah). Universalitas ajarannya bersinggungan dengan unsur-unsur lokalitas yang membentang diseluruh penjuru dunia Islam, mulai dari Arab, tempat pertama kali ia dibentuk , hingga ke pelosok dunia lainnya seperti  Indonesia.
            Dengan kata lain, fikih sesungguhnya dibentuk oleh dialektika terus menerus antara dimensi universalitas dan partikularitas. Hal ini didukung oleh fakta lain yang cukup mengejutkan, bahwa fikih banyak mewarisi secara kreatif tradisi dan kepercayaan lokal yang humanis berkeadilan, yang kemudian dipersempit oleh sikap dogmatis umat Islam sendiri. Bahwa fikih kesetaraan jender dimaksudkan untuk menciptakan dan mencoba menampilkan watak dinamis dan humanis secara berkeadilan dari hukum.
            Fikih kesetaraan jender memiliki dua fungsi sekaligus. Di sisi lain ia mengubah unsur-unsur destruktif dari ketiganya dan kemudian mengarahkannya pada cita-cita pemenuhan kharkat kemanusiaan, termasuk pemenuhan kesetaraan dan keadilan jender. Syariat Islam yang dikembangkan oleh Muslim selama ini didasarkan hanya pada wahyu dan pengalaman historis masyarakat Islam di Madinah pada abad ke-7.fikih kesetaraan jender mencoba menerobos asumsi dengan menawarkan hubungan baru antara subjek-objek, antara universalitas dan partikularitas/ relasi jender. Lokalitas/relasi jender diposisikan sebagai subjek yang berbicara, menyiasati, menyesuaikan, dan memaknai fikih sesuai kepentingan serta kebutuhannya.
            Pada tataran yang lebih jauh, fikih kesetaran jender diletakkan sebagai siasat perlawanan terhadap hegemoni kebudayaan (bias jender) yang selama ini dipresentasikan oleh negara dan kelompok-kelompok dominan. Fikih kesetaraan jender lahir dari etos menjadikan fikih tidak melulu sebagai sistem yurisprudensi, namun sebagai sistem medium tempat masyarakat mencipta dan menghayati kebudayaannya.
            Secara normatif-doktrinal. Al-Quran dengan tegas menyangkal dan menolak sikap ekslusif dan tuntunan truth claim (klaim kebenaran) secara sepihak yang berkelebihan, seperti biasa melekat pada diri para penganut agama-agama (termasuk didalamnya para penganut agama Islam). Menurut Fazlur Rahman, hampir seluruh mufasir muslim dengan sia-sia telah berusaha untuk tidak menerima maksud yang begitu jelas dinyatakan oleh kedua ayat :bahwa orang dari kaum dan pengikut agama yang manapun juga mempercayai Allah dan Hari Kiamat, serta melakukan amal kebajikan akan memperoleh keselamatan.
            Kebanyakan para penulis tafsir Al-Quran mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang Yahudi, Kristen, dan Shabi’in, yang telah masuk Islam. Jika ditilik secara historis, fikih di Indonesia, tanpa harus diformalisasikan, dalam institusi maupun undang-undang tertentu, telah menjadi semacam platform sosial yang mendasari tindakan serta keyakinan masyarakat.
Fikih Kesetaraan Jender Dan Keadilan
            Fikih kesetaraan jender mempunyai dua gerak sekaligus, yaitu gerak mengubah dan gerak melestarikan. Mengubah artinya ia diarahkan untuk mengevaluasi sejumlah elemen destruktif dalam tradisi dan budaya fikih. Feodalisme, patriarkhi, serta sikap hidup yang cenderung mendukung perilaku kekerasan misalnya, masih akrab dijumpai dalam kultur etnik di Indonesia.
            Sebagai satu cara menyiasati keberlanjutan budaya dalam konteks yang terus berubah, dalam hal ini fikih menghadapi dua problem sekaligus, yaitu : pertama, ia dihadapkan pada usaha puritanisasi yang sejak dua abad terkahir semakin intensif, dan  kedua, ancaman modenitas. Berbeda dengan yang pertama, modernitas tidak berusaha menyingkirkan fikih dari kehidupan kekinian, dalam mengangkat dan menghadirkannya.
            Fikih kesetaraan jender adalah usaha menumbuhkan spirit tradisi  dan menjadikannya medium perlawanan terhadap konversi kultural tersebut. Konversi yang dihidupkan industri kapital dan dijaga keutuhannya oleh negara serta lembaga-lembaga keagamaan. Jika demikian, kesetaraan jender bukan semata-mata membela tradisi atau nilai kesetaraan jender, tetapi bagaimana keyakinan atau aturan-aturan masyarakat itu tetap bertumpu pada keadilan. Dalam hal ini, menurut Ash-Syatibi tujuan dibentuknya syariat pertama-tama dimaksudkan untuk menegakkkan mashlahat dan mencegahnya timbulnya kerusakan dan ketidakadilan (jalbul mashalih wa dar’ul mafsid) semua aturan hukum selayaknya diorientasikan untuk mewujudkan dasar tersebut.
            Untuk menuju kearah yang dituju di atas tidak dapat dilepaskan dari aspek metodologi hukum Islam yang mendasarainya, yaitu ilmu usul fiqh. Ilmu usul fikih merupakan metodologi terpenting yang ditemukan oleh dunia pemikiran Islam dan tidak dimiliki oleh umat lain. Dengan demikian, sangat dapat dimengerti bila dikatakan bahwa kemunduran yang dimiliki oleh fikih Islam dewasa ini didugakuat juga disebabkan oleh kurang relevannnya perangkat teoritik ilmu usul fikih untuk memecahkan problem kontemporer.
            Pengembangan fikih jender kedepan diarahkan pada upaya menjadikannya sebagai etika. Suatu etika yang mampu menciptakan pandangan hidup yang baru, yang lebih bisa menjamin kebutuhan akan pengembangan dan perubahan.
            Sehubung dengan perkawinan beda agama, perkawinan merupakan perwujudan cinta yang beradab. Namun, dua insan yang berbeda agama dan keyakinan sering kali tidak dapat melakukan ritual suci ini. Sudah lama perkawinan antar agama menjadi perdebatan. Adapun teks Al-Quran yang memuat larangan perkawinan beda agama selama ini sering disikapi secara taken for granted dan murni transeden. Padahal perlu juga dipahami bahwa ia memiliki dimensi sosial politis karena merupakan bentukan sosial.
            Nalar Islam menurut Arkoun adalah sistem de pensee (sistem berfikir) yang membentuk Islam. Arkoun menilai identifikasi Islam yang paling menonjol terletak pada keterikan dengan konsep wahyu yang terberi dalam Islam yang diterima. Larangan kawin beda agama untuk menjaga stabilitas, keutuhan dan terpeliharanya daar al-Islam (teritori Islam). Berkaitan dengan masalah batas usia pernikahan, wali nikah, hak dan kewajiban suami istri, nusyuz, poligami, nikah beda agama dan waris beda agama di Indonesia sudah saatnya menggunakan lima prespektif, yaitu kemaslahatan (kebaikan) umat, keadilan dan kesetaraan jender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi.
KESIMPULAN
            Dalam kehidupan sehari-hari persamaan jender antara laki-laki dan perempuan menjadi perdebatan diantara orang-orang sekitar dan para ulama. Banyak yang meyakini bahwa perempuan sama berat nya dalam pekerjaan nya. Dan sebenarnya antara laki-laki dan perempuan sama rata. Akan tetapi, dalam agama Islam Allah telah berfirman bahwa pebandingan laki-laki 2:1 dengan perempuan.
            Dalam penciptaan manusia misalnya, Adam, menurut banyak tafsir adalah manusia pertama yang diciptakan dan Hawa diciptakan dari Adam. Ketika membicarakan masalah kejatuhan Adam dan Hawa dari syurga ke bumi. Menyatakan bahwa mereka terusir (dikeluarkan) dari surga gara-gara Hawa. “Allah bertanya kepada Adam: “Hai Adam, mengapa kamu melanggar perintah-Ku? Adam menjawab: “gara-gara Hawa.” Akibat dari ini Tuhan menghukum Hawa dengan tiga macam hukuman, yaitu : pertama, membuatnya berdarah (haid) setiap bulan, kedua, menjadi makhluk Tuhan yang bodoh (safiah) dan ketiga, melahirkan bayi dengan susah payah.
            Islam telah besikap adil dalam menghadapi masalah yang terjadi pada umatnya. Dalam Al-Quran, hadits telah memberikan solusi dalam masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Dalam permasalahan perkawinan beda agama sangat dilarang dalam agama Islam. Maka dari pada itu dalam kawin beda jenis tidak ada dalam hukum Islam karena Allah melarang umat Nya untuk nikah beda agama. Walaupun nikah adalah suatu kewajiban bagi setiap umat Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar