PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah
untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan,
berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman,
bertakwa, beakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan
dll. Setiap anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk
turut serta dalam pembangunan. Sebagai waraga negara Indonesia, penyandang
cacat mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga lainnya.[1]
Demokrasi sebagai dasar hidup berbangsa pada
umumnya memberikan pengertian bahwa adanya kesempatan bagi rakyat untuk ikut
memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok tentang kehidupan warga
negara, termasuk dalam menilai kebijakan pemerintah. Jadi, setiap warga negara
dapat memberikan suara untuk pemerintahan dan pemerintah memberikan hak-hak
setiap warga negara tanpa dibeda-bedakan. Tetapi pada implementasinya tidak seperti apa yang
diinginkan. Tidak semua dari warga negara dapat menikmati pelayanan yang ada di
negara. Banyaknya kasus diskriminasi yang membuat suatu kegagalan dalam
pemerintahan untuk menjamin hak-hak dasar warganya. Akhirnya muncullah
minoritas dalam negara ini yang rentan terhadap diskriminasi antara lain yaitu
orang lanjut usia, anak-anak, wanita dan penyandang cacat (difabel).
Dalam Undang-Undang no 4 tahun 1997 pada pasal 1 ayat (1)
berbunyi: “Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:
1.
Penyandang
cacat fisik,
2.
Penyandang
cacat mental,
3.
Penyandang
cacat fisik dan mental”.
Menurut WHO (World Health Organization), difabel
adalah suatu kehilangan atau ketidak normalan baik secara psikologis,
fisiologis, maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis. Difabel atau yang
biasa disebut dengan penyandang cacat merupakan kelompok yang sering terlupakan
atau terabaikan dalam pemerintahan di negara Indonesia. Padahal apabila kita
ketahui bahwa kaum difabel sudah mengalami dua proses peminggiran. Pertama,
terpinggirkan dari lingkungan sosial dikarenakan kecacatan yang dialaminya
sehingga kaum ini sulit untuk bergerak bebas di lingkungan masyarakat dan juga
terbatasnya regulasi yang menyangkut tentang hak-hak mereka. Kedua,
implikasi dari proses pertama diatas mengakibatkan kaum difabel sulit mengakses
fasilitas publik, sehingga merasa terpinggirkan dari orang yang lainnya.
Seperti contoh, masih banyak tempat yang tidak mengkhususkan untuk kaum
difabel. Pemerintah juga kurang peka terhadap hal ini. [2]
Telah tercatat sekitar 11% dari penduduk Indonesia adalah
difabel. Angka ini bukan sedikit dengan keseluruhan jumlah penduduk Indonesia
sehingga pemerintah harus memberikan kebijakan untuk fasilitas yang ramah
dengan kaum difabel. Sejumlah kota sudah berbenah untuk memberikan hak bagi
warganya yang berkebutuhan khusus. Jika kebutuhan bagi warga yang berkebutuhan
khusus ini telah diberikan maka, pemerintah telah memberikan hak bagi kelompok
warga yang rentan dengan diskriminasi lainnya, seperti ibu hamil, lanjut usia,
dan anak-anak.
Penyandang cacat atau difabel dalam warga negara
Indonesia mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dengan warga negara lainnya tanpa
adanya memandang fisik. Dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
menjelaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya. Dari pasal ini kita dapat menyimpulkan bahwa setiap warga negara
mempunyai persamaan kedudukan dimata hukum tanpa adanya perbedaan baik menurut
fisik, adat, dll. Oleh karena itu peran para difabel dalam pembangunan nasional
sangatlah penting untuk mendapat perhatian dan memberikan ruang untuk dapat
berkembang dalam dunia pemerintahan.
Dalam pasal 28D
ayat (1) berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Dalam pasal 28H ayat (3) berbunyi “ Setiap orang berhak
atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat”. Jadi setiap orang mempunyai jaminan sosial tanpa ada
pengecualiannya selagi masih sebagai warga negara Indonesia.
Segala pasal yang terdapat diatas yang bersifat umum
untuk seluruh warga negara tanpa adanya perbedaan tanpa adanya perbedaan antara
difabel dan orang normal. Sebagai warga negara Indonesia, hak, kewajiban, dan
peran penyandang cacat adalah sama dengan warga Indonesia yang lainnya. Dinegara
Indonesia pada saat ini jarang sekali kita mendengar adanya partisipasi dari
kaum difabel dalam pemilihan umum. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih
orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Pemilu yang
diselenggarakan oleh setiap negara haruslah bersifat inklusif sebagai syarat
demokrasi, yang berarti tidak boleh ada orang atau kelompok orang (dengan dasar
pengelompokan apapun, misalnya: ras, suku, kondisi fisik) yang diabaikan haknya
sebagai Pemilih atau haknya sebagai yang dipilih.[3]
Pemilu memiliki fungsi utama untuk
menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Oleh
karena itu, pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi hukum. Pemilu dapat
dikatakan aspiratif dan demokratis apabila memenuhi persyaratan. Pertama,
pemilu harus bersifat kompetitif, dalam artian peserta pemilu harus bebas dan
otonom. Kedua, pemilu yang diselenggarakan secara berkala, dalam artian
pemilu harus diselenggarakan secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Ketiga,
pemilu harus inklusif, artinya semua kelompok masyarakat harus memiliki peluang
yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satupun kelompok yang
diperlakukan secara diskriminatif dalam proses pemilu. Keempat, pemilu
harus diberikan keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif
pilihannya dalam suasana bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh
informasi yang luas. Kelima, penyelenggara pemilu tidak memihak
independen.[4]
Apabila dilihat dari persyaratan pemilu yang ketiga maka, bisa diketahui bahwa
semua warga negara harus ikut serta dalam pemilu tanpa adanya pengecualian. Tidak
ada yang diperlakukan secara diskriminatif terutama kepada kaum yang minoritas.
Karena suara dari kaum minoritas juga menentukan masa depan suatu negara.
Pada pemilu tahun 2014 yang lalu terdapat
lebih dari 190 juta pemilih yang menggunakan suaranya dan sekitar 10 juta
pemilih nya adalah dari kaum disabilitas atau berkebutuhan khusus. Angka ini
bukannya sedikit untuk memberikan suara kepada negara dalam pemilihan umum.
Kaum disabilitas juga mengingkan seorang pemimpin yang diingingkannya, dari
pada itulah satu suara dari kaum disabilitas juga mempengaruhi dalam
penjumlahan hak suara. Dalam pelaksaannya hanya sedikit dari kaum disabilitas
yang dapat memberikan suaranya. Faktor utama nya adalah aksesibilitas atau
fasilitas bagi kaum disabilitas.[5]
Indonesia sebenarnya telah memiliki perangkat
hukum yang menjamin hak-hak bagi kaum difabel seperti yang tertera dalam
Undang-Undang 1997 pasal 41 ayat (2) yang berbuyi “Setiap penyandang cacat,
orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh
kemudahan dan perlakuan khusus”. Pada pasal 42 berbunyi “Setiap warga negara
yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh
perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk
menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya,
meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”[6].dan
juga Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang HAM, kelompok penyandang cacat
diharuskan memperoleh pelayanan khusus yang artinya setiap penyandang cacat
mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan atau penyedian layanan dari fasilitas
dan sarana demi kelancaran, keamanan, kesehatan dan keselamatan dalam
aktivitasnya. Perlakuan ini sebenarnya menjadi tanggung jawab penuh negara
dalam memenuhi hak-hak difabel. [7]
Begitupula dalam pelayanan dalam pemilihan
umum, pelayanan untuk difabel diharuskan pemerintah untuk memberikan kemudahan.
Aksesibilitas yang diberikan pemerintahan belum seluruhnya tersebar dalam
kota-kota di Indonesia. Dari sinilah patut disayangkan bagi pemerintahan yang
ada di Indonesia. Aksesibilitas merupakan hal penting dalam mewujudkan kesamaan
kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Dalam Undang-Undang No 23 tahun 2003 tentang
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dalam pasal 51 ayat (2) menyebutkan : “ TPS
sebagaimana dimaksudkan ayat (1) ditentukan lokasinya ditempat yang mudah
dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap pemilih dapat
memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia. Dari pasal ini dapat
membuktikan bahwa pemerintah seharusnya memberikan fasilitas yang memudahkan
bagi penyandang cacat dalam pemilihan umum apakah itu berupa TPS terdekat atau
transportasi bagi penyandang cacat untuk menuju ke TPS.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Beradasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka
dapat diambil pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pemerintah daerah Sleman memberikan hak-hak penuh difabel dalam pemilihan umum
secara merata?
2.
Sudah
ada undang-undang yang mengatur segala tentang difabel atau penyandang cacat.
Akan tetapi bagaimanakah merealisasikan undang-undang tersebut?
C.
TUJUAN
PENELITIAN
Dari pokok permasalahan diatas maka dalam penelitian ini
memberikan suatu tujuan penelitian berupa :
1.
Memberikan
suatu kontribusi bagi pemerintah daerah Sleman untuk lebih peka dalam
memberikan fasilitas yang merata bagi kaum difabel.
2.
Memberikan
jalan keluar agar undang-undang yang ada di Indonesia yang mengkhususkan kaum
difabel dapat direalisasikan.
D.
METODOLOGI
PENELITIAN
Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu penelitian yang
menghasilkan data deskriptif melalui sumber data yang bersangkutan dengan
situsi yang sedang terjadi didalam masyarakat tentang pemilihan umum yang
memberikan hak difabel untuk memilih berdasarkan hati nurani nya dan
keinginannya. Penelitian deskriptif kualitatif memberikan suatu data yang
konkrit berdasarkan fakta dan pengaruh terhadap suatu kondisi yang terjadi pada
saat ini.
Penelitian ini menitik beratkan kepada penelitian pustaka
(library research) yang mana data-data yang diperoleh berdasarkan dari
buku-buku yang berkaitan dengan kasus ini. Agar dapat memberikan suatu pengetahuan
dan meneliti dengan berdasarkan teori-teori yang telah ada.
E.
TINJAUAN
PUSTAKA
Telaah pustaka adalah deskripsi ringkasan
tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah
yang diteliti sehingga tidak terdapat pengulangan atau duplikasi dari kajian
atau penelitian yang sudah ada. Agar
mendapatkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya serta autentik maka
penulis mencantumkan beberapa referensi yang berkaitan dengan tema yang penulis
teliti, dari banyak referensi itu diantaranya :
1.
Aksesibilitas
: membuka ruang politik bagi diffable (Potret Aksesibilitas bagi Kelompok
Difabel dalam perspektif right based approach di Yogyakarta yang ditulis
oleh Longgina Novadona Bayo. Dalam tulisan ini membahas tentang hak kaum
difabel untuk dapat bergerak di ruang publik dan menghilangkan unsur cacat yang
dapat mengakibatkan kaum difabel terdiskriminasikan dari warga negara Indonesia
yang lainnya.
2.
Peran
Panitia Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca) dalam Sosialisasi
Politik bagi Masyarakat Difabel dalam Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta 2013
yang ditulis oleh Oktaviawan yandarisman jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas
Diponegoro.
F.
KERANGKA
TEORITIK
Pembangunan nasional adalah sebagai aspek kehidupan
sebuah negara yang diselenggarakan oleh masyarakat dan pemerintah. Kegiatan
masyarakat dan kegiatan pemerintah harus saling mendukung, saling mengisi,
saling melengkapi setiap kekurangan untuk menuju kepada tujuan pembangunan.
Untuk membangun suatu negara yang baik dan benar dibutuhkan suatu pemimpin yang
dipilih melalui pemilihan umum. Setiap warga negara diwajibkan untuk memilih
pemimpinnya.
Sebagai warga negara Indonesia, kedudukan, hak, kewajiban
dan peran penyandang cacat adalah sama dengan warga lainnya seperti yang
tertera dalam UUD 1945 dalam pasal 27. Hal ini menandakan bahwa negara kita
telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada harkat dan martabat
manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu peran
penyandang cacat dalam menentukan masa depan negara sangat diperlukan.
Dalam Tesis ini penulis mencoba memakai Teori Hugo
Grotius. Bagi Grotius, setiap orang mempunyai kecendrungan hidup bersama. Tidak
hanya itu, karena manusia memiliki rasio, manusia itu ingin hidup secara damai.[8]
Dalam konteks judul ini bahwa penyandang cacat sama hal nya dengan manusia yang
lainnya. Karena masih memiliki akal dan mempunyai tujuan dalam pembangunan
nasional tanpa memandang kaum minoritas.
G.
SISTEMATIKA
PENULISAN
BAB I membahas
tentang pendahuluan yang memaparkan latar belakang permasalahan, rumusan
masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian, tinjuan pustaka, kerangka
teoritik, dan sistematika penulisan.
BAB II terdiri dari pembahasan secara umum tentang kaum
difabel baik itu di Indonesia maupun luar negeri.
BAB III terdiri dari metode penelitian yang menerangkan
tentang tempat dan waktu penelitian, jenis penelitian, dan juga termasuk
pengumpulan data secara sistematis berdasarkan sumber-sumber yang diterima
BAB IV berisi segala analisis dan pembahasan tentang
pemilih umum yang menitik beratkan kepada kaum difabel
BAB V adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan penelitian, saran-saran
penelitian, dan kekurangan yang terdapat dalam penelitian dan juga berisi
daftar pustaka.
[1] H.Muladi, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam
perspektif Hukum dan Masyarakat, ( Bandung, PT Refika Aditama, 2007), hlm
253.
[2] Longgina Novadona Bayo, Aksesibilitas: membuka ruang
politik bagi diffable (potret Aksesibilitas bagi Kelompok Difabel),
(Salatiga, 2006).
[3] H.A. Prayitno, Pendidikan Kebangsaan, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia
(KADEHAM), (Jakarta, Universitas Trisakti, 2010), hlm 97.
[5] http://beritamanado.com/menjamin-suara-difabel-dan-marginal-dalam-pemilu-presiden-2014/ diakses pada tanggal 8 Maret 2015.
[7] http://budisansblog.blogspot.com/2011/12/difabel-dan-konstruksi-ketidakadilan.html diakses pada tanggal 08 Maret
2015.
[8] Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang
dan Generasi, (Yogyakarta, Genta Publishing, 2010) hlm 68.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar