A.
PENDAHULUAN
Kekerasan adalah sebuah ekspresi baik yang
dilakukan secara fisik maupun ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan
penyerangan pada kebebasan dan martabat seseorang. Kekerasan adalah fenomena politik dan sosiologis baik
secara horisontal dan vertikal dalam banyak dimensi dan karakteristik .Selama
bertahun-tahun Indonesia telah mengalami berbagai kasus yang berkaitan dengan
kekerasan . Jenis tertentu kekerasan, seperti kekerasan berbasis agama ,sering
terjadi dan melibatkan pernah sering dan kepentingan politik. Kekerasan
merupakan fenomena politik dan sosiologis yang bersifat universal. Kekerasan
sebenarnya adalah sebuah perang antara dua insting yang saling berbeda dan
menginginkan untuk menang dengan cara perusak sebagai insting kehidupan.
Kekerasan memiliki umur yang sama dengan manusia. Sejak
manusia berada dimuka bumi, maka kekerasan itu hadir dalam kehidupan. Wujud
kekerasn nampak dalam kehidupan manusia, salah satunya adalah kekerasan dalam
agama. Agama tidak hanya memiliki dimensi positif saja yang dijadikan common
ground dan pondasi teologis untuk membangun hubungan antar agama yang lebih
sehat, dinamis, berkualitas dan manusiawi yang penuh dengan semangat toleransi
dan pluralisme, tetapi juga memilki dimensi negatif yang mampu melahirkan
tindakan kejahatan dan kekerasan.
Menurut Geertz, kekerasan merupakan bagian dari
strukturasi makna-makna dalam kebudayaan sebagai bagian fundamental dari usaha
pernyataan kekuasaan yang terkait dengan nilai yang melekat dalam kebudayaan
ataupun ideologi, termasuk agama, serta melekat dalam sistem pembilahan
masyarakat secara askriptif.[1]
Kekerasan bisa dikatakan eudaemonisme[2]
yang mana menghindari rasa sakit untuk meraih keinginan dan kepuasan. Menurut
Locke, apabila manusia merasakan kesulitan maka akan melakukan sesuatu sejauh
apapun sampai kesulitan itu dapat disingkirkan.[3]
Jadi, apapun yang menjadi penghambat seseorang dalam mengahadapi kesulitan,
maka apabila orang itu belum puas maka akan melakukan tindakan kekerasan
kendatipun hal ini akan membuat kerusakan orang sekitar.
Kekerasan bukan hanya terjadi dikalangan individu saja,
melainkan di negara juga terdapat kekerasan, baik itu kekerasan dalam
pemerintahan, politik dan juga kekerasan di negara yang membawa nama agama. Di
Indonesia saat ini kekerasan agama banyak sekali menjadi perdebatan dikalangan
nitizen dikarenakan kekerasan agama memberikan efek perusak bagi suatu negara.
Kekerasan agama dapat memberikan pandangan negatif seseorang tentang agama. Sebenarnya
agama tidak pernah mengajarkan seseorang untuk memberikan kekerasan. Agama
bersifar lembut, bukan bersifat agresif.
Seperti yang kita ketahui Indonesia mempunyai sistem
pemerintahan yang berbentuk demokrasi. Demokrasi sekarang banyak mengajarkan
perubahan bagi bangsa di Indonesia. Baik dari mempermudah masyarakat memberikan
apresiasi, memberikan pendapat. Akan tetapi kebebasan yang terdapat dalam
demokrasi memberikan dampak lain apabila tidak di kontrol oleh pemerintah.[4]
Maka dari pada itu masih banyak masyarakat yang asal bertindak dengan keinginanannya sendiri.
Pada akhir-akhir ini dinamika umat Islam di
Indonesia diramaikan dengan berkembangnya
berbagai komunitas atau gerakan religius yang mengembangkan seperangkat ajaran
yang berbeda dengan ajaran Islam yang telah dipraktikkan oleh umat Islam selama
ini. Berbagai pernyataan pemuka agama dan institusi keagamaan yang muncul
sebagai respon terhadap komunitas tersebut, hingga lahirnya pernyataan sikap
yang mencap aliran-aliran keagamaan atau komunitas religius tersebut sebagai
aliran sesat atau komunitas sesat. Apabila dirunut ke belakang, jauh sebelumnya
sudah sejumlah aliran keagamaan sempalan di Indonesia, yang mungkin karena
struktur masyarakat muslim Indonesia yang heterogen dan sikap akomodatif
masyarakat muslim menyebabkan aliran-aliran keagamaan sempalan tersebut mudah
diterima hingga tumbuh subur dan berkembang. Satu yang sangat disayangkan
-untuk tidak menyebutnya disesalkan-- adalah meskipun disinyalir bahwa
aliran-aliran keagamaan yang muncul dan berkembang di Indonesia cukup banyak,
namun tidak ada satu pun institusi keagamaan yang memiliki data konkrit tentang
aliran-aliran tersebut, baik menyangkut nama-nama aliran keagamaan apa saja
yang berkembang, tokoh-tokohnya, aspek-aspek ajarannya, maupun inventarisasi
jumlah pengikutnya.[5]
Di Indonesia saat ini kita akan banyak menemukan
kekerasan yang dilakukan dengan dasar agama. Penyalahan maknalah yang membuat
orang akan berbuat yang lain dengan yang diajarakan oleh agama. Pemikiran orang
terhadap sesuatu yang melenceng dari pemikirannya akan membuat seseorang akan
berbuat keras. Pola pemikiran yang tidak sejalan akan membuat keresahan dengan
orang lain dan akan berakibat terjadinya sebuah kekerasan. Orang atau kelompok
yang belum mengerti akan agama banyak yang menyalahgunakan arti yang terdapat
dalam kitab sucinya. Misalnya gerakan kelompok al-Qaidah yang membuat anarkis
dengan berdalil bahwa selain orang islam merupakan musyrik dan halal untuk
dibunuh.
Memahami agama, tidak sebatas pada pemahaman secara formal,
melainkan harus dipahami sebagai sebuah kepercayaan, sehingga akan bersikap
toleran kepada pemeluk agama lain. Akan tetapi, bila seseorang hanya memahami
agama secara formal saja maka ia akan memandang bahwa hanya agamanya saja yang
mempunyai klaim kebenaran tunggal dan paling baik. Sementara itu agama lain
dipandang telah mengalami reduksionisme (pengurangan), karena itu tidak benar
dan kurang sempurna. Sikap ini memunculkan hegemoni agama formal sedemikian
rupa sehingga agama lokal, agama suku ataupun agama kecil terpinggirkan oleh
agama formal. Maka dari itu memahami agama hendaknya tidak hanya pada klaim
kebenaran saja tetapi menginduksi dari interaksi sosial keagamaan antar umat
beragama yang akan memunculkan sikap toleransi terhadap agama lain.
Pemikiran yang bersumber pada pemahaman semata tidaklah
bagus. Karena tidak secara cermat meneliti maksud yang terkandung dalam kitab
suci tersebut.
Empat faktor sosiologis yang menyebabkan
tumbuh dan berkembangnya aliran-aliran keagamaan sebagaimana terdahulu, yaitu pertama,
tingkat pengetahuan agama masyarakat muslim masih rendah. Dalam hal ini
pengetahuan agama yang rendah dapat memberikan dampak negatif dalam kehidupan
beragama. Kedua, pragmentasi otoritas keagamaan terus berlangsung tanpa
kendali. ketiga, institusi
keagamaan tradisional tidak berperan sebagaiman harapan ideal masyarakat. Keempat, kecenderungan praktis-pragmatisme masih ada dalam tubuh umat
Islam, maka selama itu pula potensi muncul dan berkembangnya aliran-aliran
keagamaan.[6]
Dalam hal ini saya akan membahas tentang bentuk kekerasan
yang mengatas namakan agama. saya anggap menarik dikarenakan apa yang menjadi
motif bagi kelompok keras atau radikal dalam negara dengan mengatas namakan
agama. Pembahasan ini akan melihat dari faktor yang menjadikan radikalisme ada
dalam kehidupan beragama.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari pemaparan diatas maka dalam makalah ini
diambil sebuah rumusan masalah yaitu :
1. Apa tujuan dan motif seseorang atau kelompok dalam kekerasan yang membawa
nama agama?
C.
PEMBAHASAN
Demokrasi adalah menjadi sebuah sistem
pemerintahan di Indonesia saat ini. Demokrasi diidentikkan dengan kebebasan
mengungkapkan pendapat. Jika kebebasan berpendpat ini dihalangi, maka demokrasi
sebagai sistem politik merasa terancam. Di Indonesia saat ini, kebebasan
berpendapat belum menjadi sarana utama dan eksklusif bagi tindakan politik.
Radikalisme yang dari bahasa latin radix
berarti akar adalah sebuah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk
pendukung gerakan radikal. Secara historis gerakan radikal yang dimulai di
Britania Raya meminta reformasi sistem pemilihan secara radikal. Pada tahun
1689, pergantian menteri telah meruntuhkan independensi parlemen terpilih
dengna cara penyalah gunaan patronase, penyuapan sistematik, dan praktik
melawan hukum.[7]
Pada awalnya gerakan ini hanya sebagai partai kiri yang menentang partai kanan.
Akan tetapi pada abad ke-19 radikalisme mulai terserap kedalam perkembangan
politik yang liberal. Jadi secara kesimpulan bahwa asal mula tindakan radikal
muncul dari salah satu aliran politik bukan dari ajaran agama tertentu. Bisa
dikatakan bahwa radikalisme itu bukan bersumber dari ajaran agama. Melainkan
dari kelompok politik partai.
Radikalisme bisa juga menjadi kesalah pahaman
dalam agama yang menimbulkan gerakan radikal di suatu tempat. Namun ada yang perlu diketahui bahwa tuduhan
radikalisme yang ditujukan kepada umat Islam baru dikenal beberapa tahun silam,
yang mana awal mula adanya tudingan ini berdasarkan perang dingin antara dua
negara yaitu Uni Sovyet dan Afganistan. Pada perang ini Afganistan megalahkan
Uni Sovyet. Karena kemenangan inilah yang membuat negara-negara Islam lainnya menginginkan
hal yang sama. Karena tidak ingin tundukkan atas cengkraman negara tersebut dan
menginginkan melepaskan dirinya.
Akan tetapi ada suatu hal yang mengherankan
dikarenakan adanya pernyataan bahwa orang radikal adalah yang mempunyai
jenggot, celan cingkrang dan selalu membawa mushaf kecil. Dari sinilah yang
membuat kesalah pahaman orang dalam mengetahui radikalisme. Pernyataan ini yang
membuat orang lain terpengaruhi dengan kata radikalisme yang malah mencondong
kepada umat Islam. di lain itu juga banyak orang yang belum tau menau tentang
radikal. Pandangan masyarakat bahwa radikal itu brutal dan tidak mempunyai
aturan dan tidak memandang makhluk hidup. Di lain pihak orang yang bukan
beragama islam akan mencoreng nama Islam dikarenakan Islam identik dengan
kekerasan.
Munculnya isu-isu politis tentang radikalisme
islam merupakan suatu tantangan baru bagi umat islam untuk menjawabnya. Banyak
sekali anggapan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menyebut
bahwa gerakan Islam itu adalah radikal, mulai dari kelompok garis keras,
ektremisme, militan, Islam kanan, fundametalisme, sampai ke terorisme. Setelah
negara barat hancur tentang ideologi komunisme nya memandan islam adalah
sebagai gerakan agama yang menakutkan.[8]
Istilah radikalisme untuk menyebut kelompok
garis keras dipandang lebih tepat dari pada fundamentalisme dikarenakan
fundamentalis memiliki makna yang dapat ditafsirkan. Dalam pandangan orang
barat bahwa fundamentalisme mempunyai arti sebagai paham orang yang ekstrim
dengan kelakuannya yang tidak segan-segan dalam perilakunya berdampak kekerasan
untuk mempertahankan ideologinya. Apabila dalam Islam, Fundamentalisme adalah tajdid
( pembaharuan) yang mana berdasarkan moral yang terdapat dalam al-Quran dan
as-sunnah.[9]
Fundamentalisme juga bisa diartikan sebagai suatu gerakan anti-kebaratan (westernisme).
Terkadang fundamentalisme diartikan sebagai radikalisme dan terorisme yang
disebabkan bahwa gerakan fundamentalisme memiliki implikasi politik yang
membahayakan negara-negara industri di barat.
Radikalisme sering mengatas namakan Islam,
oleh karena itu Radikalisme Islam senantiasa menjadi wacana walau radikalisme
agama-agama lainnya juga ada. Paham radikalisme Islam seringkali muncul ketika
menghadapi kebijakan pemerintah dan kondisi sosial ekonomi dan budaya yang
dipandang dapat mengancam penerapan ajaran agama Islam yang diyakini pemeluknya
secara mutlak benar. Kelompok radikal seringkali merasa bertanggung jawab dan
wajib memperjuangkan keyakinan agama Islam secara benar .Semangat ini
mengilhami gerakan radikalisme di Indonesia, ditambah dengan sentimen anti
Barat sebagai perlawanan terhadap sistem perekonomian kapitalisme.
Radikalisme atau fundamentalisme tidaklah muncul dari ruang hampa.
Dalam teori sosial, radikalisme adalah sebuah gerakan yang terkait atau
disebabkan oleh fakta lain. Dalam pandangan orang sosial atau masyarakat bahwa ada tiga asumsi yang mendasari keseluruhan cara berpikirnya,
yaitu terdapat keteraturan sosial (social order), terdapat perubahan
sewaktu-waktu dan tidak ada fakta yang berdiri
sendiri kecuali ada fakta penyebabnya. Maksudnya bahwa radikalisme akan muncul apabila ada
fakta yang menyebabkan gerakan ini merasa tidak sesuai dengan ideologinya maka
gerakan ini akan muncul seketika. Jadi bentuk gerakan radikal bukan setiap
waktu akan memberikan bentuk kekerasan saja melainkan adanya sumber yang
membuat gerakan ini akan mulai bergerak.
Dalam bidang keagamaan, fenomena radikalisme
agama tercermin dari tindakan-tindakan destruktif-anarkis atas nama agama dari
sekelompok orang terhadap kelompok pemeluk agama lain (eksternal) atau kelompok
seagama (internal) yang berbeda dan dianggap sesat. Termasuk dalam tindakan radikalisme agama adalah aktifitas untuk
memaksakan pendapat, keinginan, dan cita-cita keagamaan dengan jalan kekerasan.
Radikalisme agama bisa menjangkiti semua pemeluk agama, tidak terkecuali di
kalangan pemeluk Islam. Lebih detil, Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan
radikalisme. Pertama, menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam
mengatur kehidupan individual dan juga politik ketata negaraan. Kedua,
nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya berada di
Timur Tengah secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan
politik ketika Al-Quran dan hadits hadir di muka bumi ini, dengan realitas
lokal kekinian.
Ketiga, karena
perhatian lebih terfokus pada teks Al-Qur’an dan hadist, maka purifikasi ini
sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non asal Islam (budaya Timur
Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri
Islam dengan bid’ah. Keempat, menolak ideologi Non-Timur Tengah termasuk
ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisme. Sekali lagi,
segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada Al-Qur’an dan hadist. Kelima,
gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk
pemerintah. Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik
dengan kelompok lain, termasuk pemerintah.[10]
Islam radikal memahami Islam sebagai
agama yang sempurna dan lengkap, dan memberikan perhatian kepada otentisitas
kultural. Namun Islam bukanlah agama dalam pengertian barat, tetapi Islam
adalah cara hidup yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Posisi ini berbeda dari kaum sekularis yang menolak intervensi agama dalam
kehidupan publik, trutama politik. Manifestasi dari pandangan radikal adalah
pada keharusan untuk mendirikan negara Islam yang didasarkan pada syari‟ah.
Perbedaan antara kaum radikal dan modernis adalah penegasan yang pertama
terhadap keunikan Islam.[11]
Dalam studi Islam dengan pendekatan sosiologis, berkembang beragam pendapat
tentang latar belakang muncul dan berkembangnya aliran-aliran keagamaan, di
antaranya adalah seagai berikut:
1. Sejumlah ulama melihat bahwa muncul dan berkembangnya aliran keagamaan
disebabkan oleh ketidaktahuan para penganutnya terhadap ajaran Islam dan
berbagai aspeknya.
2. Menurut Azyumardi Azra, muncul dan berkembangnya beragam aliran atau paham
keagamaan yang menyimpang dari paham keagamaan dan mainstream yang berlaku
dipercepat oleh kenyataan yang berlangsungnya perubahan-perubahan
sosial-ekonomi yang begitu cepat dengan sedikit latah, bisa juga disebabkan
oleh globalisasi yang menimbulkan disrupsi disorientasi, atau dislokasi
psokologis dalam kalangan tertentu masyarakat. Selain itu, kemunculan mereka
juga bisa di dorong oleh ketidakpuasan terhadap paham, gerakan atau organisasi
keagamaan mapan, yang mereka pandang tidak mampu lagi mengakomodasi pengembaraan
keagamaan mereka.
3. Terdapat indikasi kuat telah terjadi fragmentasi otoritas atas interpretasi
teks kitab suci (al-Qur’an) yang berimplikasi pada pergeseran otoritas
keagamaan. Pergeseran posisi sentral ulama
dalam masalah-masalah agama yang merupakan fenomena alamiah seiring telah
terjadinya ortodoksi Islam dari Mekkah-Arab Saudi ke belahan dunia lain,
seperti Mesir. Pergeseran ortodoksi dan kecenderungan fragmentasi ini terus
berlangsung di Indonesia hingga sekarang.[12]
Akar
radikalisme dapat dilihat dari beberapa penyebabnya, antara lain: pertama,
adanya tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya. Di beberapa belahan dunia, termasuk Indonesia fenomena radikalisme
atau fundamentalisme muncul sebagai akibat otoritarianisme.[13] Dalam kasus Orde Baru, negara selalu membabat habis yang
diidentifikasi sebagai gerakan radikal. Baginya radikalisme adalah musuh nomer
satu dan dijadikan sebagai common enemy melalui berbagai media
transformasi. Radikalisme kiri dan kanan sama saja. Semua bentuk gerakan radikal pada masa orde
baru tidak dapat bergerak bebas, dikarenakan semua yang dilakukannya akan cepat
tercium oleh pemerintah. Begitu kerasnya tekanan terhadap gerakan radikal kiri
ini, banyak para tokohnya yang ditangkap, disiksa, bahkan ada yang hilang tidak
tentu rimbanya. Orde Baru juga
sangat keras terhadap radikalisme kanan. Di antara yang paling menonjol adalah
isu Komando Jihad di pertengahan tahun 1980-an. Banyak tokoh Islam yang
diidentifikasi sebagai pemimpin atau anggota Komando Jihad yang ditangkap dan
ditahan. Usaha untuk memberangus gerakan-gerakan radikal Islam itu pun terus
berlangsung sampai periode munculnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
di pertengahan tahun 1990-an. Abdul Aziz Thaba membuat tipologi hubungan antara
Islam dan Negara dalam tiga kategori, yaitu hubungan antara Islam dan Negara
yang bercorak antagonistis, resiprokal kritis, dan hubungan antara Islam dan
Negara yang saling membutuhkan. Hubungan antagonistis terjadi di awal Orde Baru
sampai awal tahun 1980-an[14].
Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa
salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan,
termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas
oleh kekuatan tertentu. Lebih tepat dikatakan hal itu sebagai faktor emosi
keagamaannya dan bukan agama (wahyu suci yang absolut), karena gerakan
radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela
agama, jihad, dan mati sahid. Dalam konteks
ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman
realitas yang sifatnya interpretatif, yakni nisbi dan subjektif. Keterlibatan
faktor emosi keagamaan ini nyata ditunjukkan dengan terjadinya kerusuhan massal
di awal reformasi, ratusan gereja dan tempat usaha etnis Cina dibakar, dirusak,
dan dijarah. Contoh Kekerasan yang terjadi misalnya pembakaran gereja, membakar semua toko cina
pada masa orde baru, kekerasan
kelompok FPI dengan Ahmadiyah di Cikeusik, kerusuhan di Temanggung, Lombok, dan
kerusuhan Syiah dan NU di Madura yang berlatar agama.
Ketiga, faktor kultural ini juga memiliki andil yang
cukup besar yang melatar belakangi munculnya radikalisme. Bahwa di dalam
masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan
jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang
dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai antitesis terhadap budaya
sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang mana harus
dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta
sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas
negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban Barat sekarang ini merupakan
ekspresi dominan dan universal umat manusia.
Kebuadayaan Barat telah dengan sengaja
melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan Muslim sehingga
umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Walaupun begitu barat sangat
cepat membuat negara lain ikut masuk kedunia barat. Barat dengan sekularismenya
sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa Timur dan
Islam sekaligus dianggap bahaya terbesar dari keberlangsungan moralitas Islam. Hal ini bisa dilihat dari perubahan perubahan
sehari-hari, seperti semakin masifnya pola konsumsi umat beragama pada
produk-produk Barat, misalnya ATM, handphone, internet, dan produk global
lainnya. Era globalisasi inilah yang membuat barat semakin merajalela dengan
kebudayaannya yang mana kebudayaannya tidak cocok dengna kehidupan orang yang
berada di negara Timur.[15]
Keempat, faktor
ideologis anti-kebaratan (westernisme). Westernisme
merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengaplikasikan
syariat Islam, sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan
syariat Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti-Barat tidak bisa disalahkan
dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum
radikalisme justru menunjukkan ketidak mampuan mereka
dalam memposisikan diri sebagai lawan dari
budaya dan peradaban. Yudi Latif menandaskan, munculnya terorisme disebabkan
karena tidak berjalannya konsep rasa keadilan.
Teroris muncul karena munculnya skeptisisme[16]
terhadap demokrasi. Demokrasi yang diyakini dapat memberikan suatu perubahan yang baik malah
memberikan dampak negatif. Dari sini lah teroris itu merasa tidak cocok dengan
ideologi yang dimilikinya, kekerasan adalah sumber untuk memberikan pengaruh
dan peringatan kepada pemerintahan.
Kelima, faktor
kebijakan pemerintah. Ketidak mampuan pemerintah di negara-negara Islam
untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan
sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari
negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negara-negara
Muslim belum atau kurang mengetahui dan
mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme)
sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat.
keenam, faktor media
massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor
munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda
lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis
sehingga sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang
ditimpakan kepada komunitas Muslim. Apabila kita mengetahui bahwa banyak sekali perfilman
di barat yang memberikan suatu pemahaman yang berbeda terhadap agama Islam.
banyak yang memutar balikkan fakta, dari sinilah pemikiran setiap orang dirubah
dengan apa yang di berikan oleh barat. Dari sisi ini kelihatan bahwa
westernisasi adalah sebagai perusak moral dan pemikiran seseorang. Era
globalisasi yang mempunyai peran mempermudah setiap manusia disalah gunakan
untuk memberikan dampak pemikiran yang berbeda kepada orang lain.
Akibat media massa (pers) Barat yang selalu
memojokkan umat Islam menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang
dilakukan oleh umat Islam. Kekerasan yang dilakukan oleh umat islam bukan
berdalil untuk mengahancurkan setiap orang selain agama Islam, akan tetapi
kekerasan dan bentuk radikal ini adalah sebagai sebuah peringatan dan tindak
lanjut dari segenap umat Islam yang merasa direndahkan dan merasa dipojokkan
oleh barat. Di samping Muslim sendiri masih belum selesai menata identitas
diri, tema-tema yang diusung kelompok Islam radikal kerap kali menerapkan syariah
Islam dalam negara yang dinilai Barat sangat “menakutkan”.
Suatu cara agar tindak kekerasan yang ada
dalam agama tidak terjadi lagi adalah Arahan
pertama terkait dengan bagaimana elite agama dapat menumbuhkan dengan cepat
kesadaran akan pentingnya model agama yang modern. Di dalam agama yang modern
ditandai dengan adanya penghargaan terhadap pluralitas yang tidak vakum
diversitas dan vakum budaya. Manusia hidup dalam entitas yang heterogen. Maka
agama akan menjadi mode of comunication yang tidak hanya vertikal tetapi juga
horizontal. Agama sebagai model komunikasi berarti menuntut kesepahaman dan
mengakui perbedaan dalam banyak hal tetapi juga memiliki kesamaan misi
kemanusiaan.[17]
D.
KESIMPULAN
Kehidupan yang didambakan oleh manusia adalah
kehidupan yang aman, tentram dan jauh dari kekerasan yang terjadi di kehidupan
sehari-hari. Kekerasan yang timbul memiliki tujuan dan maksud, bukan hanya
kekerasan yang didasarkan keinginan untuk berbuat anarkis dalam kehidupan
bernegara. Kekerasan mempunyai tujuan dalam bentuk ketidak senangan suatu
kelompok dengan realita yang ada di kehidupan sehari-hari. Realita yang ada
tidak sejalan dengan ideologi yang dimiliki oleh kelompok tertentu.
Radikalisme yang ada pada umat Islam bukan lah
seperti anarkis yang dianggap oleh orang eropa barat dan Amerika Serikat. Orang
barat menganggap bahwa umat islam itu adalah radikal selalu berbuat kekerasan.
Padahal kekerasan yang dilakukan bukan sepenuhnya dari umat Islam. ini dapat
juga sebagai politik yang merusak nama baik umat Islam di bumi ini. Era
globalisasi mungkin adalah sebagai suatu alasan terjadinya radikalisme di bumi
ini. Dikarenakan informasi yang dapat mudah diketahui membuat setiap orang
memberikan argumen yang melenceng terhadap umat Islam.
E.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz Thaba, Abdul, 1995, Islam dan
Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta, Gema
Insani Press.
Azra, Azyumardi, 1996, Pergolakan
Politik Islam, dari Fundamentalis, Modernisme hingga Post-Modernisme,
Jakarta, Paramadina.
Choirul Ummah, Sun, 2012, Akar Radikalisme
di Indonesia, Yogyakarta, Humanika.
Efriza, 2009, Ilmu Politik: dari ilmu
politik sampai sistem pemerintahan, Bandung, Penerbit Alfabeta.
Haryatmoko, 2014, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta,
Penerbit Buku Kompas.
Hazlitt, Henry, 2003, Dasar-Dasar Moralitas,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Imarah, Muhammad, 1999, Fundamentalisme
dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam.
Terjemah oleh Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta, Gema
Insani Press.
Lay, Corneli, 2009, Kekerasan atas Nama
Agama: Perspektif Politik, Yogyakarta, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Vol. 13 , Juli 2009.
Qodir, Zuly, 2011, Sosiologi Agama: Esai-esai Agama di Ruang Publik Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Sumaryono, 1995, Etika Profesi Hukum,
Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Yacub Albarry, M. Dahlan, 2001, Kamus Ilmiah Populer,
Surabaya, Penerbit Arloka.
[1] Corneli Lay, Kekerasan atas Nama Agama: Perspektif Politik, ( Yogyakarta,
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 13 , Juli 2009).
[2] Ialah aliran filsafat etika yang menafsirkan tentang tujuan manusia
sehingga tercapat kebahagiaan yang paripurna akibat mekarnya segala potensi
manusia. Eudamonisme memmpunyai dua macam yaitu yang besifat pribadi dan yang
bersifat sosial. Lihat di buku E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum,
(Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1995), hlm 53.
[5] Lihat di artikel Abbas Langaji, Dinamika Aliran Keagamaan Sempalan:
Tinjauan Perspektif Sosiologi Agama, Annual International Confrence On
Islamic Studies (AICIS XII).
[7] Efriza, Ilmu Politik: dari ilmu politik sampai sistem pemerintahan,
(Bandung, Penerbit Alfabeta, 2009), hlm 105-106.
[9] Muhammad
Imarah, Fundamentalisme dalam
Perspektif Pemikiran Barat dan Islam. Terjemah oleh Abdul Hayyie
al-Kattani. (Jakarta, Gema Insani Press, 1999), hlm 22.
[10] Abdul Munif, Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah, Yogyakarta,
Program Pascasarjana Uin Sunan Kalijaga, Prodi Pendidikan Islam.
[11] Lihat di http://agil-asshofie.blogspot.co.id/2011/10/radikalisme-gerakan-politik.html diakses pada tanggal 21 Januari 2016.
[12] Lihat di artikel Abbas Langaji, Dinamika Aliran Keagamaan Sempalan:
Tinjauan Perspektif Sosiologi Agama, Annual International Confrence On
Islamic Studies (AICIS XII).
[13] Azyumardi Azra, Pergolakan
Politik Islam, dari Fundamentalis, Modernisme hingga Post-Modernisme, (Jakarta, Paramadina1996), hlm 18.
[15] Zuly Qodir, Sosiologi
Agama: Esai-esai Agama di Ruang Publik, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011), hlm 23.
[16] Yaitu keraguan yang dimilki setiap orang, sangsi. Lihat di M. Dahlan Yacub
Albarry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Penerbit Arloka, 2001) hlm
714.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar