A. Latar Belakang
W.B. Sidjabat dalam tulisannya berjudul Penelitian
Agama: Pendekatan Dari Ilmu Agama dalam buku Mulyanto Sumardi berpendapat bahwa Ilmu Agama sebagai disiplin
akademis yang mengkaji dan mendalami pelbagai seluk-beluk Agama, pada umumnya
diakui baru dimulai pada awal abad ke 19, khususnya dengan tampilnya karya ahli-ahli seperti f. max. muller dengan karyanya “Introduction
To The Science Of Religion yang
dikemukakannya
di Westmister Abbey, London 1873 di kalangan cerdik pandai dan tokoh
Agama. Bukan hanya Jerman saja, namun juga berasal dari Belanda di
antaranya Cornelis P. Tele (1830-1920), G. Van Der Leuw (1890-1950) hingga
dewasa ini, melanjutkan usaha Max Muller.
Britania Raya juga
berkontribusi melahirkan tokoh-tokoh besar seperti E.B. taylor (1830-1917) dan
james george frezer (1854-1941). Pada zaman W.B. Sidjabat tampil juga
tokoh baru seperti Walter Kaufmann, juru kritik yang tajam meneliti tentang
agama dan filsafat. Di dunia barat banyak sekali yang membahas tentang kajian
agama. W. B. Sidjabat menggambarkan secara umum perkembangan pengkajian tentang
Ilmu Agama di negara-negara eropa, amerika, asia dan afrika, yang di hasilkan
dari perbagai latar belakang. Di asia sendiri seperti J. Takakusu dari
jepang yang telah banyak jasanya dalam memperkenalkan budhisme pada penghujung
abad ke 19, tak kurang nilainya daripada karya tokoh-tokoh dunia barat
tersebut. Setelah takakusu, D.T. suzuki juga menghasilkan karya ilmiah dalam
jumlah yang besar tentang zen budhisme. Di india juga terdapat tokoh yang
bernama S. radhakrisnan selaku pundit (golongan terpelajar) Ilmu Agama dan filsafat india terbesar pada abad
ke 20.
Dalam
bidang ilmu agama dari tokoh-tokoh yang berasal dari Indonesia menjadi sesuatu
yang harus ada. Mereka membahas tentang agama atau aspek dari agama yang telah
dianutnya di Indonesia ini, namun yang benar-benar berjalan pada rell agama
sebagai disiplin yang dikaji secara mendalam serta sungguh-sungguh, tidaklah
seberapa. Jalan ke arah tersebut sudah dirintis oleh tokoh-tokoh seperti, Prof.
Dr. Husein Djajaningrat dan Prof. Dr. Poerbatjarata, yang kemudian disusul oleh para tokoh lainnya. Sepanjang
sejarah di Indonesia, yang diketahui di kalangan penganut agama Islam antara
lain; Prof. Dr. Hamka KA, Prof. Dr. Rasjidi, Prof. Dr. Mukti Ali, Prof. Dr.
Harsya W. Backtiar, Prof. Dr. Harun Nasution dan lain sebagainya. Dari kalangan
penganut agama Hindu seperti G. Pudja MA dan Tjokorda Rai Sudharta MA.
Kemudian,
dari kalangan peneliti dari penganut agama Kristen menurut penyelesaian
disertasi adalah Prof. Dr. Ph. O.L Tobing (1956), Prof. Dr. W.B Sidjabat
(1960), Prof. Dr. Harun Hadiwiyono (1967), Dr. Jansen Pardade (1975) dan Dr.
Victor Tanja (1979). Para sarjana Kristen ini yang bergelar Doktor lainnya di
Indonesia umumnya mengadakan spesialisasi bidang seperti Biblika, Sistematika,
Historika, Praktika dan Pendidikan Agama Kristen.
Dengan
banyaknya sarjana dalam bidang ilmu agama, menurut Sidjabat masih belum
menemukan suatu pengertian yang bersifat universal. Artinya definisi tentang
agama masih belum menemukan suatu kesepakatan dari berbagai agama yang ada,
khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa peneliti agama belum
mendapatkan tempat yang sewajarnya dalam dalam dunia ilmu pengetahuan, mereka
hanya menekankan pada aspek sosialnya dan melihat agama timbul dari pergaulan
sesama manusia. Cara seeperti ini banyak digunakan oleh ahli
sosiologi dan ahli antropologi sosial dalam melihat agama itu sendiri. Sudah
barang tentu pendekatan yang demikian tidak akan memperoleh pengertian yang
tepat tentang agama.
Sudah banyak orang Indonesia yang ikut membahas agama
atau aspek dari agama yang dianutnya di Indonesia, akan tetapi yang benar-benar
bergerak dan mengkaji agama dengan sungguh-sungguh, belum seberapa banyak. W.B.
Sidjabat mengatakan bahwa tujuan penelitian agama-agama dalam rangka Ilmu agama
secara umum terbagi menjadi dua bagian. Pertama, hal-hal yang positif
yang terdiri dari mebina hubungan yang karib secara pribadi, memperdalaam
pengentahuan dari agama-agama lain, menciptakan lingkungan yang religiusdi
kalangan umat beragama, dan merangsang kerja sama umat beragama secara praktis
dan kedua, mencakup dalam hal-hal yang dirumuskan secara negatif.
Penelitian agama bukan bertujuan sebagai manipulasi politik, ekonomi, sosial
dan militer, dominisi satu agama dan enggan agama yang lain, mecari
kelemahan-kelemahan agama lain.
B. Permasalahan
Dalam pernyataan diatas maka dapat diambil suatu
permasalah untuk menjadi kajian dari makalah ini yaitu :
1. Bagaimana penelitian agama serta cangkupan ilmu agama
menurut W.B. Sidjabat?
2. Apa saja fungsi penelitian agama menurut W.B. Sidjabat?
C. Telaah Penelitian
Sudah banyak penelitian
tentang agama yang dilakukan para pakar di dunia barat. Akan tetapi Mukti Ali
dalam penelitian agama di Indonesia mengutarakan bahwa pengetahuan tentang
agama Islam yang di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang berari dibanding
dengan perubahan-perubahan yang terjadi dikehidupan masyarakat Indonesia. Mukti
Ali juga mengemukakan dengan penelitian agama diharapkan dapat mengetahui
perwujudan sosial dan kultural dalam agama Islam dan juga agama-agama laian
dalam masyarakat Indonesia.[1]
Penelitian agama di Indonesia sangat penting karena Indonesia adalah bangsa
yang religius, dan masyarakat sosialistis religius. Penelitian agama adalah
penting bukan saja bagi kalangan ilmuwan dan dunia ilmu pengetahua, akan tetapi
juga bagi para perencana dan pelaksana pembangunan di Indonesia sendiri.
H.A. Ludjito mengemukakan
penelitian terhadap seluruh isi alam akan membawa seseorang kepada kesadaran
tentang adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya dan akan membantu memperkuta masyarakat
percaya dengan Tuhannya. Beliau mengatakan juga bahwa pendekatan tentang
penelitian agama yang dilakukan dunia barat kepada Indonesia mengelirukan.
Karena mereka berpendapat perlunya pendekatan barat terhadap kehidupan
masyarakat Indonesia. Padahal penelitian ini memberikan gambaran yang salah dan
tidak tepat terhadap kehidupan masyarakat Indonesia.[2]
Taufik Abdullah mengatakan
bahwa agama adalah pantulan dari solidaritas sosial. Penelitian agama berarti
ketersediaan untuk mendekati secara aspektual.[3]
D. Metodologi Penelitian
Metode berperan penting dalam
suatu penelitian. Suatu penelitian akan dianggap mempunyai arti yang tepat
apabila dapat memberikan suatu metode yang tepat pula. Secara hemat, metode
adalah suatu cara atau jalan seseorang dapat mengetahui dan menjelaskan suatu
permasalahan atau problematika dengan cara penelitian.
Dalam penelitian agama
pakar-pakar yang ahli dalam penelitian agama tidak hanya memakai satu metode
untuk mengungkapkan suatu kebenaran. Akan tetapi, pakar-pakar menggabungkan
dari berbagai metode yang didapat atau ditemukannya. Banyak para ilmuwan dalam
penelitian agama menggunakan metode seperti metode teologi, metode filologi,
metode antropologi. Seperti halnya F.X Muller dalam pembahasannya tentang arti
agama yang memakai metode filologi dan menggunakan metode yang lain. Karena
satu metode belum dikatakan benar. W.B sidjabat mengomentari dari hasil metode
yang filologi yang yang digunakan Muller bahwa metode ini digunakan muller
karena metode ini berkaitan dengan zaman Aufklarung.
Suatu penelitian yang penulis
sampaikan disini berdasarkan metode bahasa (filologi) dan metode teologi dan
kehidupan dalam keseharian masyarkat. Apabila hanya menggunakan metode bahasa,
maka masih bersifat abstrak dan masih simpang siur dengan pengertiannya. Dan
apabila menggunakan metode teologi saja maka tiap agama berbeda-beda akan
pendapatnya. Maka dari pada itu dalam karangan W.B. Sidjabat menggunakan ke
tiga metode yang dapat mengerti maksud yang dituju.
E. Ruang Lingkup
Menurut W.B. Sidjabat ilmu
agama sebagai disiplin akademis yang mengkaji dan mendalami pelbagai seluk-beluk agma , seperti yang
telah diakui pada penghujung abad ke-19 dan yang telah kita bahas dilatar
belakang oleh karya-karya para ahli dari dunia barat. Menurut W.B.Sidjabat
pemaparan nama-nama dan karya-karyanya tersebut bertujuan untuk menunjukkan
bahwa ilmu agama bukanlah merupakan ilmu yang ditangani oleh para sarjana dari
dunia barat saja, atau bisa dikatakan hanya oleh mereka yang dahulu lazim
disebut “orientalis” dan “indolog”. Sama halnya dengan universalnya gejala
agama, universal pula menjadi partisipasi para pemikir dari berbagai bangsa
yang mendiami bumi ini.
Meskipun para sarjana dari
suatu bangsa yang berperan dalam penelitian ini ada yang mendahului yang lain,
sesuai dengan talenta dan perkembangan yang ada dan berkaitan satu dengan yang
lainnya dengan kemungkinan dan fasilitas yang ada pada suatu waktu dan tempat.
Namun keinginan dan keprihatinan (concern) untuk turut aktif dalam
bidang ilmu agama terbuka untuk semua pihak. Seperti terbuka nya ilmu
pengetahuan untuk semua pihak secara universal.[4]
Walaupun nama para sarjana
itu dijajarkan berdekatan dalam rangkaian ilmu agma , namun bukanlah berarti
bahwa mereka semua memakai metodologi yang sama. W.B. Sidjabat juga menambahkan
bahwa seorang ahli ilmu agma tidak harus memakai satu metodologi saja, tetapi
dapat juga menerapkan beberapa metodologi secara serentak terhadap suatu karya.
Seperti contoh yang diambil oleh beliau, F.Max Muller, memulai studinya dalam
bidang sanskerta, yakni disiplin ilmu bahasa (filologi). Muller mendalami
Hinduisme yang membawanya kepada pemikiran yang memahami agama cenderung secara
rasionalistis dan sepanjang yang dapat tertuang dalam rumusan bahasa. Dari
sinilah kekuatan metode pendekatan F.Max Muller.
Menurut W.B. Sidjabat metode
yang digunakan Muller adalah awal kelemahan dari metodenya. Beliau juga berkata
bahwa memang benar agma itu sebaiknya dipelajari dalam bahasa aslinya, dan
dalam ungkapan-ungkapan filologis agama itu sendiri, namun seluruh dimensi
agama itu tidak boleh dibatasi dengan pemahaman dari bahasa belaka. Masih ada
dimensi yang cukup mendalam pada agma yang dihayati, tetapi sama sekali tidak
tertuang dalam rumusan-rumusan bahasa. Karena hal itu kurang diperhatikan.
Beliau menjelaskan akhirnya metodologi Mulller masih juga masih sangat
rasionalitas yang cenderung memahami agama di dunia barat zaman Aufklarung.[5] Akan tetapi F.X
Muller tidak hanya memakai metodologi ini saja karena dalam himbauannya untuk
ilmu agama “yang tidak memihak” alias netral, ia juga mengutarakan pendapatnya
melalui perbandingan agama-agama. Dari sinilah bahwa benar dikatakan oleh W.B.
Sidjabat dalam penelitian agama tidak hanya menggunakan satu metodologi saja,
akan tetapi juga dapat menerapkan dengan berbagai metodologi secara serentak.
Metodologi yang dipergunakan
oleh berbagai eksponen agama itu banyak tergantung pada minat individual yang
bersangkutan untuk mengadakan kegiatan pergumulan, pengolahan, penulisan dan
pengungkapan lainnya. Dari nama-nama para ahli diatas menunjukkan garis datar
ilmu agama dan para pemikirnya, agar mengetahui luasnya bidang cangkup (concern)
yang dihadapi. Bidang cangkup (concern) ilmu agma itu banyak tergantung
pada pengertian setiap orang tentang apa yang dimaksudkan dengan agama. W.B.
Sidjabat mengatakan kata “agama” dipahami di Indonesia sebagai kata yang
berasal dari bahasa sanskerta. akan tetapi beliau mengatakan bahwa pemahaman
tentang agama masih simpang siur. misalnya ia mengambil contoh Haji
zainal arifin abbas dalam bukunya perkembangan pikiran terhadap
Agama, mengatakan bahwa arti Agama adalah “tidak kacau”: a berarti
tidak dan gama berarti kacau. Di pihak lain, menurut “kamus jawa kuno-indonesia” (susunan
L mardiwarsito), arti Agama itu ialah “ilmu”, “pengetahuan”; (“pelajaran
Agama”). Kedua penulis itu mengatakan bahwa Agama berasal dari bahasa
sanskerta. Dalam pada itu “kamus umum bahasa indonesia” susunan
W.J.S. Poerwadarminta, cetakan V (1976),- dan sudah diolah kembali oleh pusat
pembinaan dan pengembangan bahasa, memberikan rumusan sebagai berikut: “Agama
ialah segenap kepercayaan (kepada tuhan, dewa dan sebagainya) serta ajaran
kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu”. Rumusan terakhir tidak menyebutkan
bahwa asal kata Agama dari bahasa sansekerta.
Sekalipun
demikian, menurut Sidjabat berdasarkan banyak penelitian pada kamus-kamus
bahasa indonesia (Melayu), batak, jawa, seperti kamus susunan Klinkert (1996)
H.N. Van Der Tuuk (Bataksch- Nederduitsch Woordenboek, 1861) dan Joh. Warneck
(Toba-Batak-Deutsches Worterbuch, 1905), juga kamus Otto Karow-Irene
Hilgers-Hesse, (Indonesisich Deutsche Worterbuch, 1962), nyatalah menurut
Sidjabat bahwa kata Agama itu berasal dari bahasa sansekerta, sekalipun kamus-kamus
tersebut tidak memberikan etimologinya. Sidjabat menyimpulkan makna kata Agama
dan etimologi kata Agama yang paling banyak ditemukan dan yang lebih
mempengaruhi pemahaman orang tentang kata Agama di dalam masyarakat indonesia
adalah kata Agama yang diberikan oleh Haji Zainal Arifin Abbas. Akan
tetapi beliau mengkritisi bahwa
sangat disayangkan, penjelasan Zainal Arifin Abbas tidak disertai penjabaran
tentang arti dan fungsi Agama dalam bentuk yang lebih mendalam.[6]
Beliau juga menganalisis makna agma yang diberikan oleh L. Mardiwarsito diatas
karena agak bergeser kepada arti intelektual dari agama itu, yakni “ilmu”,
“pengetahuan” dan “(pelajaran) agama”. Sidjabat mengatakan dalam buku ini bahwa
kata “agama” dimaksudkan sebagai way of life yang membuat hidup manusia
itu tidak kacau. Fungsi agama oleh Sidjabat dalam pengertian ini ialah
memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya
dengan Tuhan tidak kacau (a gama), dengan sesama manusia dan dengan alam
yang mengitarinya. Menurut makna dan fungsinya, pengertian itu pulalah yang
ditemukan dalam kata religion (Inggris), religion (Jerman), religie
(Belanda), religion (Prancis), religion (Spanyol). Semua kata itu
memang berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya ialah religare
yang berarti mengikat. Arti kata religio mencakup way of life.
Dalam pengertian itu, religio atau way of life berikut
peraturan-peraturannya tentang kebaktian dan kewajiban-kewajibanya, merupakan
alat untuk mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam
hubungannya terhadap Tuhan, sesama manusia, dan terhadap alam yang
mengitarinya.
Fungsi agama
menurut pengertian yang berasal dari religare itu ialah untuk merekatkan atau
atau menyemen berbagai unsur dalam memelihara keutuhan diri manusia, diri orang
perorangan atau diri sekelompok orang, dalam hubungannya terhadap Tuhan,
terhadap sesama manusia dan terhadap alam yang mengitarinya. Sekalipun kata din
dalam Islam, biasanya berdasarkan surat Ali Imran yang artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai)
disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al
Kitab[7]
kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada)
di antara mereka.Barangsiapa
yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat
hisab-Nya.[8]
Ayat ini ditafsirkan berlaku hanya untuk pengertian agama
Islam, dalam rangkaian kelima unsur Arkanul Islam, iman dan ihsan.
Namun arti din dalam bahasa arab dapat juga dipahami sebagai lembaga
ilahi (wad’ilahi) yang memimpin manusia untuk keselamatan di dunia dan
akhirat.
Secara fenomenologis dapat dikatakan bahwa fungsi
din adalah sebagai alat yang mengatur, mengantar dan memelihara keutuhan
diri manusia dalam hubungannya dengan
Tuhan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitar yang
mengitarinya. Didalam penghayatan dan pelaksanaan praktis terhadap agama, manusia
melakakukan sesuatu yang terkandung dalam way of life sebagai :
1. Ucapan syukur kepada tuhan Allah
2. Pemuliaan (adoration) terhadap sang khalik alam semesta raya
3. Selaku bentuk pelayanan, baik kepada sang Khalik maupun kepada sesamanya (makhluk)
Sebenarnya arti yang dalam dari kata din adalah hal yang sangat pribadi dan
intim antara manusia dan sang Khalik, sekalipun hal ini diwujudkan dalam
rangkaian kehidupan yang pribadi dan kehidupan yang kolektif. Dari segala
pernyataan diatas, Sidjabat mendefinisikan arti dari din secara tentatif :
Agama adalah keprihatinan yang maha luhur dari manusia yang terungkap
selaku jawabannya terhadap panggilan dari Yang Maha Kuasa dan Maha Kekal.
Keprihatinan yang maha luhur (ultimate concern) ini diungkapkan dalam hidup manusia
(pribadi dan berkelompok) terhadap Tuhan, terhadap manusia dan alam
semesta raya beserta isinya.[9]
Dan disadari juga sampai saat ini kenyataannya terdapat juga agama dan
praktek agama yang sudah menyimpang dari garis yang sebenarnya, hal seperti ini
juga sudah terjadi dalam sejarah. Itulah sebabnya Islampun mengadakan perbedaan
antara din al-haq yaitu agama yang benar dan din al-mubaddal
yaitu agama yang tidak asli lagi. Din almubaddal adalah agama yang tidak
berjalan pada jalan yang lurus.
W.B. Sidjabat mengemukakan beberapa fungsi dan tujuan dari agama yaitu :
1) Membina hubungan yang akrab secara pribadi.
2) Memperdalam pengetahuan tentang anutan umat beragama yang lain.
3) Membina etika religius dikalangan umat beragama agar gemar saling menaruh
respek.
4) Meragsang kerjasama umat beragama secara praktis.[10]
Fungsi agama menurut Sidjabat terdapat empat fungsi dan kegunaan agama
secara praktis yaitu sebagai berikut :
1.
Membina kesadaran beragama yang lebih mendalam.
Ilmu agama mempunyai fungsi dan kegunaan untuk membina
kesadaran beragama yang lebih mendalam. Bukan hanya memiliki pengetahuan yang
umum saja tentang agama-agama yang ada di dunia ini, melainkan juga agar
manusia juga dapat sampai ke taraf refleksi dan pengkajian, mengapa ia menganut
suatu agama. pembinaan kesadaran yang mendalam ini berfungsi agar manusia dapat
mengetahui dan mengkaji lebih dalam tentang agama itu sampai pemahaman yang
jernih tentang kepercayaan dan keyakinan tersebut
2.
Memelopori sikap ilmiah (terbuka) terhadap
kebenaran.
Walaupun kebenaran yang diketahui oleh orang yang
terdahulu perlu kita pelihara. Akan tetapi dengan keadaan zaman yang bertambah
maju dan bertambah luas akibat ilmu agama itu maka harus menanamkan suatu sikap
yang bersedia terbuka secara ilmiah tentang kebenaran-kebenaran yang baru.
3.
Memupuk etika kerja, penghargaan waktu yang
menunjang lancarnya pembangunan.
Dengan pengenalan kita dengan hal-hal yang baru tentang
kebenaran-kebenaran yang ada dari sikap terhadap kerja dan waktu. Tanpa
membersar-besarkan kelemahan agama yang lain, maka akan diketahui bahwa sikap
mental yang sehat dan segar terhadap kerja dan waktu itu penting sekali dalam
rangka pembangunan.
4.
Menjaga keseimbangan antara yang rohani dengan
yang jasmani.
Dari pemahaman tentang ilmu agama dari agama-agama yang
memisahkan antara bidang yang rohani dan jasmani, antara yang sacred dengan
yang sekuler, akan membawa manusia kepada dualisme yang sangat merugikan bagi
manusia itu sendiri. Dari pada itu harus ada keseimbangan antara rohani dan
jasmani agar mendapatkan kebahagian di dunia dan diakhirat.
5.
Membantu pemerintah dalam pengadaan gambaran
yang lebih lengkap tentang seluk-beluk persoalan agama-agama di dalam
masyarakat.[11]
F. Sumbangan Keilmuwan
Hasil dari pembahasan diatas
memberikan suatu sumbangan dalam pengetahuan yang penting dalam pengertian
tentang ilmu agama. pengetahuan tentang ilmu agama akan berguna sebagai
kesadaran umat beragma dengan agama yang dianut lebih mendalam. Jadi bukan
hanya mendapatkan suatu pengetahuan umum saja tentang keagamaan akan tetapi
dapat menimbulkan pikiran yang jernih yang sampai kebatas keyakinan.
Penelitian tentang agama juga
memberikan kita sikap untuk menanggapi kebenaran baru yang ada dalam
perkembangan zaman. Apabila hanya mengikuti pengetahuan kita dan tidak
menanggapi kebenaran-kebenaran yang baru, maka akan merasa puas dengan
pemahaman yang sedikit tersebut. Maka dari pada itu harus terbuka dengan suatu
kebenaran-kebenaran yang baru agar tidak bersifat tradisionalisme.
Penelitian agama yang
mendalam dan meluas pasti akan berkenalan dengan kerja dan waktu. Sikap mental
yang kuat dan sehat terhadap kerja dan waktu itu penting untuk pembangunan di
bangsa ini.
Segala yang terdapat dalam
kehidupan tidak boleh berat sebelah antara rohani dan jasmani. Apabila rohani
yang berkembang dalam kehidupan, maka tiap orang tidak menghiraukan keadaan
yang berlangsung dalam masyarakat. Akan tetap apabila jasmaninya saja yang
dilakuka maka akan berdampak buruk bagi kedekatannya terhadap sang pencipta.
Dari pada itu, antara rohani dan jasmani haruslah berjalan yang searah dan
tidak berat sebelah.
G. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah
terurai panjang lebar diatas maka W.B. Sidjabat menyimpulkan bahwa hasil
penelitian ilmu agma itu an sich adalah netral dan untuk maksud ilmiah.
Tetapi dalam pemanfaatan hasil penelitian itu terdapatlah kemungkinan
menggunakan, untuk tujuan-tujuan yang konstruktif dan positif atau juga untuk
tujuan-tujuan yang destruktif dan negatif.
Dan dari pembahasan diatas
maka dapat diambil kesimpulan seperti berikut :
1. Penelitian agama harus diteliti secara mendalam. Karena
penelitian secara mendalam menjadikan suatu agama sebagai suatu aturan atau
panutan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dan alam sekitar
yang mengitarinya. Penelitian agama yang mendalam juga dapat menjadi perekat
atar umat beragama yang dapat menimbulkan suatu sikap saling menghargai antar
sesama umat beragama.
2. Fungsi dari penelitian agama adalah membina kesadaran
beragama yang lebih mendalam, memelopori sikap ilmiah (terbuka) terhadapat
kebenaran, memupuk etika kerja, penghargaan waktu yang menunjang lancarnya
pembangunan, menjaga keseimbangan antara yang rohani dengan yang jasmani,
membantu pemerintah dalam pengadaan gambaran yang lebih lengkap tentang
kenstelasi agama-agama di dalam masyarakat
H. Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, 1989, Metodologi Penelitian Agama, cet I, Yogyakarta
: Tiara Wacana Yogya.
Al-Qur’an Al-Karim.
Sumardi, Mulyanto, 1982, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran,
cet I, Jakarta : P.T Sinar Agape Press.
[1]
Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan
Pemikiran, cet I, (Jakarta : P.T Sinar Agape Press, 1982), hlm 22.
[3] Taufik Abdullah, metodologi penelitian agama, cet I,
(Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1989), hlm 31.
[4] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, cet I,
(Jakarta : P.T Sinar Agape Press, 1982), hlm 73.
[5] Aufklarung (jerman) yang artinya zaman pencerahan, zaman aufklarung adalah
zaman setelah zaman renaissance. Renaissance pandangannya menjuru kepada
peremajaan pemikiran kalu aufklarung menjuru kepada pendewasaannya. Dikutip
dari http://kependidikanislam2010.blogspot.com/2011/06/filsafat-modern-renaissance-dan.html di aksese pada tanggal 06 November 2014
[6] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, cet I,
(Jakarta : P.T Sinar Agape Press, 1982), hlm 75-76.
[9] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, cet I,
(Jakarta : P.T Sinar Agape Press, 1982), hlm 78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar