A.
Biografi Ibn Khaldun
Ibn Khaldun dilahirkan di Tunisia pada tanggal
1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M. Nenek moyang Ibn Khaldun berasal dari golongan
Arab Yaman di Hadramaut. Setelah islam mengalami kehilangan kekuasaan di
Andalusia, seluruh keluarganya pindah ke Tunisia. Kehidupan Ibn Khaldun terbagi
menjadi empat fase.[1]
Pertama, fase pertumbuhan dan studi yang dimulai dari
tahun 732 H sampai akhir tahun 751 H. Ayahnya adalah guru pertamanya. Ia
belajar dengan beberapa guru. Antara lain dalam bahasa arab, ia belajar dengan
Abu Abdillah Muhammad ibn Al-Arabi dan Abu Abdillah Muhammad Ibn Bahr. Kemudia
ilmu fiqh, ia belajar dari Abu Abdillah Al-Jiyani dan Abu Al-Qasim Muhammad
Al-Qahir. Selain belajar ilmu agama, ia juga belajar ilmu lainnya seperti ilmu
filsafat, teologi, ilmu alam, matematika, dan astronomi.
Kedua, fase keterlibatan Ibn Khaldun dalam dunia politik.
Kondisi politik pada masa itu ditandai oleh kemajemukan kerajaan Islam, yang
menyebabkan dunia politik penuh dengan intrik. Disamping terlibat penuh dalam
dinamika intrik, Ibn Khaldun juga sebagai pengamat perilaku-perilaku politik
kaum elite.
Ketiga, fase Ibn Khaldun mengembangkan pemikiran dan
kontemplasi yang berlangsung dari tahun 776 H sampai akhir tahun 780 H. Hal ini
dilakukan setelah fase pengabdiannya pada kekuasaan dalam berbagai
pemerintahan. Ibn Khaldun mungkin merasa lelah dengan petualangan politiknya
dan memutuskan untuk hidup menyendiri guna menyusun karya-karyanya di Benteng
Baru Salamah. Dalam masa ini Ibn Khaldun dapat berhasil menyelesaikan kaya
momentumentalnya . Al-Ibar
beserta muqaddimah-nya.
Keempat, fase dimana babak akhir kehidupannya. Ibn
Khaldun mengundurkan diri dari dunia politik dan membenamkan dirinya pada tugas
intelektualnya. Seluruh karya yang dihasilkan diberikan kepada penguasa. Akan
tetapi intrik politik tetap melanda. Ia menjadi sasaran tembak para elite dalam
lingkaran kekuasaan. Pembesar Negeri tersebut telah merusak persahabatannya
dengan Sultan Abu Al-Abbas. Inilah yang menjadi faktor pengunduran dirinya.[2]
Ibn Khaldun membuat kamuflase dengan meminta
izin kepada sultan untuk naik haji. Pada kenyataannya, Ibn Khaldun tidak
megarahkan kakinya ke Mekah, melainkan ke Iskandaria. Khaldun diterima oleh
Sultan Al-Malik Al-Zahir Barquq. Sultan mengagumi pemikiran Ibn Khaldun dan
menjadikannya sebagai hakim agung.
Pada periode ini, Khaldun bertemu Timur Lenk
sang penakluk dan penguasa baru yang sangat terkenal dalam sejarah kekuasaan
dan peradaban Islam di Timur Tengah di Syiria. Khaldun hingga ditawari berkerja
di istana, namun khaldun menolak tawaran yang menggiurkan itu. Ibn Khaldun
tidak lagi meghiraukan godaan kekuasaan pada akhir fase kehidupannya. Bahkan ia
tidak lagi memberikan reaksi terhadap pancingan lawan-lawan politiknya. Khaldun
tetap menjadi ilmuwan dan hakim agung hingga akhir hayatnya.[3]
B.
Pemikiran Ibn Khaldun Tentang Negara dan
Perkembangannya
Ada perbedaan pendapat tentang kata daulah
antara terjemahan buku Ibn Khaldun yang berjudul Muqaddimah yang ditulis
oleh Franz Roshental dengan buku asli Ibn Khaldun yang bejudul Muqaddimah.
Dalam bukunya Franz Rosenthal mengemukakan bahwa kata-kata daulah
ditulis dengan kata dinasti dikarenakan ia berpendapat bahwa dalam istilah yang
digunakan Ibn Khaldun tidak terdapat perbedaan antara negara dan dinasti.
Karena pandangannya sejarah beradasarkan pendapat bahwa seluruh dunia dan
segala sesuatu yang terdapat didalamnya tergantung kepada manusia. Sebuah
konsep pemikiran yang absatrak tidak terdapat dalam pemikirannya. Negara itu
ada selama diikat dan diperintah oleh orang-orang atau kelompok yang mereka
wakili, yaitu dinasti. Apabila dinasti itu hancur maka negara akan ikut hancur.[4]
Dalam bukunya Ibn Khaldun yang berjudul Muqaddimah
dipenuhi oleh konsep-konsep abstrak seperti konsep kebudayaan, peradaban,
kepemimpinan, kekuasaan, kekuasaan negara, kota dan negara, ekonomi, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dan kemashuran Ibn Khaldun terdapat dalam konsep
abstraknya tentang masyarakat manusia dan perkembangannya.
Ikatan bermasyarakat, bernegara dan
beroeradaban pada umumnya sebagai sesuatu yang tumbuh dan tenggelam lepas dari
soal apakah agama dalam pengertian nubuwwah datang atau tidak, karena ia
mengakui bahwa banyak peradaban dan negara tumbuh dan tenggelam tanpa didatangi
oleh ajaran-ajaran nabi. Bagi Ibn Khaldun, adanya masyarakat, negara dan
peradaban tidak bergantung pada adanya agama. Meskopun dilain pihak Ibn Khaldun
adalah seorang yang ditandai oleh ajaran-ajaran agama Islam, terutama fikih dan
tafsir.
Menurut Ibn Khaldun, negara seperti makhluk
hidup yang lahir, mekar menjadi tua, dan akhirnya hancur. Negara mempunyai umur
seperti umur makhluk hidup lainnya. Ibn Khaldun berpendapat bahwa umur suatu
negara adalah tiga generasi, yakni sekitar 120 tahun. Ketiga generasi itu
antara lain:[5]
1.
Generasi Pertama, masih dalam kehidupan
primitif yang keras, dan masih tinggal di pedesaan dan padang pasir.
2.
Generasi Kedua, memiliki kekuasaan dan
mendirikan negara. Yang mana merubah dari primitif menjadi hidup yang mewah.
3.
Generasi Ketiga, negara mengalami kehancuran
dikarenakan hidup dengan kemewahan, penakut, dan kehilangan makna kehormatan.
Menurut Ibn Khaldun, dalam suatu negara memiliki perkembangan melalui lima
tahapan. Yaitu sebagai berikut:
1. Tahap Pendirian Negara
Ibn Khaldun berpendapat bahwa negara tidak akan tegak,
kecuali dengan ashabiyah. Ashabiyah membuat orang menyatukan
upaya untuk tujuan yang sama, mempertahankan diri, dan menolak atau mengalahkan
musuh.
2. Tahap Pemusatan Kekuasaan
Pemusatan kekuasan adalah hal yang alamiah bagi manusia.
Bagi Ibn Khaldun pemegang kekuasaan melihat kekuasaannya telah mapan maka ia
akan berupaya untuk menghancurkan ashabiyah, memonopoli kekuasaan, dan
menjatuhkan anggota-anggota ashabiyah.
3. Tahap Kekosongan dan Kesantaian
Tahap untuk menikmati hasil dari kekuasaan yang menjadi
watak manusia. Pada tahap ini negara berada dalam puncak kejayaannya
4. Tahap Ketundukan dan Kemalasan
Pada tahap ini negara tidak ada yang terjadi, menunggu
permulaan akhir kisahnya. Dan pada tahap ini negara hanya menikmati segalanya.
Tanpa memikirkan masa depan yang mana menjadi penantian untuk kehancuran suatu
negara.
5. Tahap Foya-foya dan Penghamburan Kekayaan
Negara memasuki masa tua yang menimbulkan banyak penyakit
krosnis yang yang hampir tidak dapat dihindari serta menuju dalam keruntuhan.[6]
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa peranan agama
sangat besar dalam mendirikan negara yang besar. Menurutnya setiap negara yang
luas daerah kekuasaannya pasti didasari oleh agama, baik yang disiarkan oleh
seorang nabi (nubuwwah) atau seruan kebenaran (da’watu haqq).
Faktor agama sangat besar sampai tidak dapat ditandingi oleh faktor apapun juga
di dunia ini. Beliau mengutip dari al-Qur’an yang berbunyi:
y#©9r&ur ú÷üt/ öNÍkÍ5qè=è% 4 öqs9 |Mø)xÿRr& $tB Îû ÇÚöF{$# $YèÏHsd !$¨B |Møÿ©9r& ú÷üt/ óOÎgÎ/qè=è% £`Å6»s9ur ©!$# y#©9r& öNæhuZ÷t/ 4 ¼çm¯RÎ) îÍtã ÒOÅ3ym ÇÏÌÈ [7]
Artinya : “Dan yang mempersatukan hati mereka
(orang-orang yang beriman). walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang
berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi
Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha gagah lagi Maha
Bijaksana”.
Jadi menurut Ibn Khaldun persatuan itu merupan
bukan hasil usaha manusia, akan tetapi taufiq atau perkenan dari Allah.
Kekuasaan kenegaraan itu hanya dapat diperoleh dengan perantaraan dominasi. Dan
dominasi ini hanya dapat dicapai dengan solidaritas dan persatuan tekad untuk
berjuang. Persatuan ini hanya dapat dicapai dengan perantara agama saja.[8]
C.
Konsep Ashabiyah Ibn Khaldun
Menurut Ibn Khaldun, suatu suku mungkin dapat
membentuk dan memelihara suatu negara apabila suku itu memiliki sejumlah
karakteristik sosial-politik tertentu, yang oleh Ibnu Khaldun disebut dengan Ashabiyah.
Karakteristik ini justru hanya berada dalam kerangka kebudayaan desa. Oleh
karena itu penguasa atas kekuasaan dan pendirian Negara, sehingga munculnya
kebudayaan kota akan membuat sirnanya ashabiyah yang mengakibatkan lemahnya
negara.
Ashabiyah adalah kekuatan penggerak Negara dan
merupakan landasan tegaknya suatu negara atau dinasti, bilamana negara atau
dinasti tersebut telah mapan, ia akan berupaya menghancurkan ashabiyah. Ashabiyah
mempunyai peran besar dalam perluasan negara setelah sebelumnya merupakan
landasan tegaknya negara tersebut. Bila asyabiyah itu kuatm maka negara yang
muncul akan luas, sebaliknya bila ashabiyah lemah, maka luas negara yang muncul
relatif terbatas.
Menurut Ibn Khaldun peran ashabiyah
dalam pembentukan negara sangat menentukan. Ashabiyah pada pokoknya
adalah kerjasama dan tolong menolong yang erat dalam suatu kelompok dalam
bentuk sedemikian rupa sehingga dapat membentuk sebuah negara. Gejala ini
dikatakan Ibn Khaldun sebagai suatu gejala yang alami. Maksud dari kata ashabiyah
adalah solidaritas. Bagi Ibn Khaldun, solidaritas dalam bentuknya yang murni
memang dapat diperhatikan dengan jelas dan sederhana dikalangan anggota suku
atau kabilah terpencil. Akan tetapi sebagai suatu konsep, solidaritas dapat
terjadi dalam bentuk lain yang mungkin lebih maju dan lebih kuat, seperti rasa
persatuan yang kuat. Ibn Khaldun berpendapat tentang solidaritas ini dengan dua
premis yaitu:
Premis pertama yaitu bahwa orang tidak mungkin
menciptakan suatu negara tanpa didukung oleh suatu rasa persatuan dan
solidaritas yang kuat. Ia mengatakan :
Mendominasi dan mempertahankan diri hanya dapat dilakukan
dengan solidaritas, karena didalamnya terdapat ajakan untuk waspada, kesiagaan
untuk perang dan kesediaan setiap orang dalam kelompok itu untuk mengorbankan
jiwa dalam mempertahankan temannya.
Premis kedua adalah bahwa proses mendirikan
negara itu harus melalui suatu perjuangan yang hebat, suatu pertarungan hidup
dan mati. Sebabnya ialah karena kekuasaan negara itu adalah bangunan yang kokoh
yang tidak dapat dirubuhkan begitu saja. Untuk itu perlu kekuatan yang besar.
Untuk menghadapi perjuangan dan
pertarungan seperti ini diperlukan rasa dan kelompok solidaritas yang kuat.
Jadi persaingan dan ambisi itu wajar terjadi. Ibn Khaldun mengatakan bahwa
kekuasaan negara itu adalah:
Suatu jabatan yang mulia dan enak, yang di dalamnya
terdapat segala kebaikan dunia, kenikmatan tubuh dan kelezatan jiwa. Karena
itu, ia biasanya menjadi bahan persaingan. Jarang terjadi bahwa seseorang
menyerahkannya kepada temannya, kecuali kalau ia dikalahkan. Karena itu terjadilah
pertarungan yang dapat menimmbulkan peperangan, pertempuran dan dominasi. Dan
semuanya ini hanya dapat dilakukan dengan solidaritas.[9]
Ashabiyah adalah hubungan sosial yang menekankan
kesatuan, kesadaran berkelompok, dan kohesi sosial dalam konteks tribalisme dan
berkelompok, yang dalam dunia modern diterjemahkan menjadi nasionalisme.
Gagasan ini sudah ada sejak lama, namun menjadi sempurna ditangan Ibn Khaldun,
ulama sejarah yang terkenal di dunia Islam. ia menjelaskan bahwa menjalankan
pemerintahan adalah untuk muncul pada permukaan peradaban yang agung dan
menggunakan solidaritas yang lebih kuat dalam jiwa penduduknya untuk mengubah
kepemimpinan.
Solidaritas sosial menurut Ibn Khaldun
memiliki kekuatan dahsyat apabila didasarkan pada agama, baik dari kenabian
maupun seruan akan kebenaran. Hati umat manusia disatukan dan diseragamkan
berkat perolongan Allah dengan memeluk agama yang sama. Dakwah Islam tanpa
solidaritas sosial tidak akan berhasil. Ibn Khaldun mendasarkan pada sabda
Rasulullah SAW: “Allah tidak mengutus seorang nabi pun, kecuali ia berada di
tengah penjagaan kaumnya”.
Sejarah mencatat banyaknya pemberontakan yang
berkahir dengan kegagalan karena mengabaikan faktor solidaritas sosial. Jika
seorang nabi memerlukan solidaritas sosial bagi pejuangnya, apalagi bagi
manusia biasa. Ibn Khaldun bahkan berpendapat bahwa kekuatan suatu negara
terbatas pada solidaritas sosial. Solidaritas sosial sukit dibangun disuatu
negara yang meliputi banyak suku.[10]
Bagi Ibn Khaldun naik turunnya suatu bangas
tidak ada perberdaan antara muslim dan non muslim. Ada faktor-faktor yang
membawa kepada kekuatan dan kejayaan bagi bangsa menurut Ibn Khaldun yaitu:
1. Faktor Ashabiyah atau perpaduan sosial atau kesetia kawanan.
2. Suatu ashabiyah yang lahir dari pertalian darah atau hubungan keluarga dan
kabilah.
3. Konsep ashabiyah yang menjung tinggi nilai agama.
4. Quwwatul-Hayah, yaitu semangat untuk hidup. Ia menyatakan bahwa pasukan, senjata, dan
taktik-taktik yang sesuai boleh memberikan jaminan, tetapi kemenangan dalam
perang adalah hasil dari faktor-faktor psikologis dan khayalan manusia.
5. faktor kekuatan dalam berpikir dan memajukan budaya ilmu. Ibn Khaldun
memerhatikan bahwa umat islam mendapat kedudukan yang mulia dan tinggi dalam
dunia ini apabila mereka mempunyai kemampuan yang tinggi dalam ilmu
pengetahuan.[11]
D. Khilafah Menurut Ibn Khaldun
Menurut Ibn Khaldun khilafah adalah
pemerintahan yang berlandaskan agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai dengan
petunjuk agama baik dalam hal duniawi maupun akhirat. Khilafah adalah pengganti
Nabi Muhammad SAW dengan tugas menegakkan agama dan menjalankan kepemimpinan
dunia. Ibn Khaldun berpendapat bahwa imamah merupakan kewajiban menurut hukum
syariat. Ia menolak orang yang berpendapat bahwa imamah tidak diperlukan dengan
alasan apabila syariat telah dijalankan, imamah menjadi tidak penting.
Menurut Ibn Khaldun, berusaha lari dari
kedaulatan dengan beasumsi bahwa lembaga imamah tidak penting tidak akan
membantu. Mereka diharuskannya pelaksanaan syariat, padahal hal itu tidak bisa
dilakukan kecuali dengan solidaritas dan kekuasaan.[12]
Ibn Khaldun menetapkan lima persyaratan bagi khilafah, imamah, ataupun sultan
yaitu:
1. Memiliki pengetahuan
2. Memiliki sifat adil
3. Mempunyai kemampuan
4. Sehat panca Indera dan badannya
5. Keturunan Quraisy[13]
Ia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy
adalah pemimpin-pemimpin terkemuka. Dengan jumlah yang banyak dari kaum Quraisy
dan solidaritas kelompoknya yang kuat dan dengan keagungan suku Quraisy
memiliki wibawa yang tinggi. Akan tetapi Ibn Khaldun berpendapat bahwa hal ini
jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli oleh suku Quraisy, atau
syarat keturunan Quraisy didahulukan dari kemampuan. Syarat ini hanya
didasarkan oleh kewibawaan dan solidaritas yang tinggi dari suku Quraisy pada
saat itu. Akan tetapi apabila ada suku lain yang lebih wibawa dan suku Quraisy
tidak dapat diharapkan lagi maka dapat diganti suku lain.
E. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat diketahui bahwa
dalam pembentukan suatu negara, Ibn Khaldun menggunakan solidaritas sosial yang
kuat agar negara tersebut dapat kuat juga. Tidak semua dari solidaritas akan
naik menjadi penguasa, akan tetapi hanya satu dari solidaritas itu yang akan
menjadi penguasa atau dibilang sebagai khilafah, imamah, sulthan.
Ibn Khaldun menganggap bahwa suatu negara akan
luas perkembangannya apabila ashabiyah itu kuat. Apabila ashabiyah itu lemah
maka akan lemah juga suatu negara. Ibn Khaldun juga menerangkan dalam buku
Mukaddimah bahwa tata kota dalam suatu negara. Agar suatu negara akan siap dan kuat
apabila musuh datang. Beliau menerangkan bahwa suatu negara harus diatas air,
maksudnya suatu kota dapat meninjau kota kecil lainnya dengan melewati air, dan
juga agar dapat diketahui bahwa musuh akan datang bila lewat kepelabuhan. Suatu
negara juga harus dekat dengan pegunungan atau bukit agar dapat memberikan
informasi apabila musuh lewat jalur darat.
Ibn Khaldun juga memberikan syarat dalam
pemilihan Khilafah, Imamah atau sulthan yang menjadi lima persyaratan, yaitu
memiliki pengetahuan, memiliki sifat adil, mempunyai kemampuan, sehat panca
indera dan badannya, dan keturunan Quraisy. Pemikiran ini sama dengan pemikiran
Al-Mawardi dalam pemilihan imamah dalam negara.
Ibn Khaldun juga berpendapat bahwa segala
sesuatu harus mempunyai keimanan dalam beragama yang kuat. Karena kekuatan
agama tidak dapat ditandingi kekuatan yang apapun. Ia mengambil dalil dari
surat Al-Anfaal ayat 63.
[4] Abdul Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibn
Khaldun, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992) hlm 157.
[5] Jubair Situmorang, Model Pemikiran dan Penelitian Politik Islam,
(Bandung, Pustaka Setia, 2014), hlm 185-186.
[8] Abdul Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibn
Khaldun, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992) hlm 164-165.
[9] Abdul Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibn
Khaldun, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992) hlm 160-162.
[10] Jubair Situmorang, Model Pemikiran dan Penelitian Politik Islam,
(Bandung, Pustaka Setia, 2014), hlm 188-191.
[12] Jubair Situmorang, Model Pemikiran dan Penelitian Politik Islam,
(Bandung, Pustaka Setia, 2014), hlm 193.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar