Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktikkorupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978,1983, 1988, 1993, dan 1998.
KEHIDUPAN POLITIK
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timursering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
PEMILIHAN UMUM ORDE BARU (1977-1997)
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu Orde Baru. Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.
Berikut adalah tanggal-tanggal diadakannya pemungutan suara pada Pemilu periode ini.
1. 2 Mei 1977
2. 4 Mei 1982
3. 23 April 1987
4. 9 Juni 1992
5. 29 Mei 1997
EKSPLOITASI SUMBER DAYA
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparandikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
WARGA TIONGHOA
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
KONFLIK PERPECAHAN PASCA ORDE BARU
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dantelevisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama keKalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.
KELEBIHAN PADA MASA SISTEM PEMERINTAHAN ORDE BARU
· Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
· Sukses transmigrasi
· Sukses KB
· Sukses memerangi buta huruf
· Sukses swasembada pangan
· Pengangguran minimum
· Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
· Sukses Gerakan Wajib Belajar
· Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
· Sukses keamanan dalam negeri
· Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
· Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
KEKURANGAN PADA MASA SISTEM PEMERINTAHAN ORDE BARU
· Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
· Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
· Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
· Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
· Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
· Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
· Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
· Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
· Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
· Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
· Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
· Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibut berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
BERAKHIRNYA ORDE BARU
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia, disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Peranan Orde Baru dalam Depolitisasi Umat Islam Sejak 1966–1980 M
Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia mengalami pasang surut. Sejak kemerdekaan sampai jatuhnya Soekarno dan dilanjutkan oleh Soeharto bangsa Indonesia tetap tidak merasakan nikmatnya kemerdekaan. Boleh jadi benar apa yang dikatakan Lord Acton, “Power tends to corrupt, and the absolut power corrupt absolutely (kekuasaan cenderung untuk melakukan korupsi dan kekuasaan yang mutlak, korupsi secara mutlak pula).”
Kedua tokoh itu semula mendapat dukungan rakyat yang cukup luar biasa, tetapi ternyata mereka telah menyalahgunakan kekuasaan itu untuk kepentingan pribadi dan kroni-kroninya sehingga justru hanya menyengsarakan bangsa saja. Sejarah itu sumber pelajaran yang sangat berharga, sehingga kita perlu menggali lebih jauh perjalanan panjang orde baru yang diperankan oleh sang diktator berdarah dingin (Soeharto) dalam upayanya membungkam lawan-lawan politiknya, terutama umat Islam yang dianggap sebagai ancaman utama bagi kelangsungan kekuasaannya, yang biasa dia sebut sebagai ancaman ekstrem kanan. Hal mana dia sebagai panglima tertinggi ABRI dapat menggunakannya sebagai alat memberangus hak politik umat Islam melalui beberapa tahapan. Sepuluh tahapan awal (1966–1976) sebagai tahap pengkondisian, menurut Dr. Din Syamsuddin, “Dapat dicatat bahwa respon umat Islam terhadap perubahan politik selama sepuluh tahun pertama orde baru (1966–1976) yang dalam hubungannya dengan agenda depolitisasi Islam dapat dipandang sebagai suatu pengkondisian hubungan antara Islam dengan negara Pancasila dan politik.”
Adapun tahapan kedua, antara tahun 1976–1986 merupakan masa uji coba. Rezim menguji depolitisasi Islam secara formal dengan menetapkan undang-undang yang mewajibkan semua partai politik dan organisasi swasta mencantumkan Pancsila sebagai asas. Hal mana justru menurut Donald Emerson, hal itu membangkitkan respon umat Islam.
Adapun tahapan kedua, antara tahun 1976–1986 merupakan masa uji coba. Rezim menguji depolitisasi Islam secara formal dengan menetapkan undang-undang yang mewajibkan semua partai politik dan organisasi swasta mencantumkan Pancsila sebagai asas. Hal mana justru menurut Donald Emerson, hal itu membangkitkan respon umat Islam.
Kebangkitan Islam ada kalanya tergantung pada pengamatan. Tetapi, yang jelas di Indonesia telah berlangsung dalam tahun 80-an, di kota-kota, terutama kota besar di pulau Jawa, bukti-bukti adanya kebangkitan Islam tidak bisa dipungkiri. Marilah kita melihat lebih jelas sepak terjang Soeharto pada kedua periode tahapan tersebut. Sekilas tentang Soeharto Sejak 1951 Soeharto sudah menunjukkan sikap keras terhadap semua pihak yang memperjuangkan idiologi Islam. Maka, ketika ditengarai bahwa TNI 426 di Jawa Tengah mengadopsi idiologi Islam karena mereka mantan pasukan Hizbullah dan Sabilillah, dia tumpas habis. Soeharto naik ke puncak kekuasaan sebagai presiden RI adalah melalui kup yang tidak berdarah. Soekarno digulingkan oleh ABRI dan angkatan 66 karena dinilai telah menyalahgunakan kekuasaan sebagai seorang diktator. Untuk menarik simpati tahap awal, begitu berkuasa, Soeharto membebaskan sejumlah mantan tokoh Masyumi, seperti Muhammad Natsir, Kasman Singodirejo, Prawoto Mangkusaswito, dan Hamka yang ditahan oleh Soekarno.
Rezim orde baru keberatan untuk memenuhi tuntutan rehabilitasi Masyumi dan PSI, karena partai-partai itu dianggap telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 45. menurut Dr. Masykur Hakim, kelakuan kekejaman kepemimpinan militer pimpinan Soeharto terhadap Islam politik dapat dilihat dari dua dimensi: politik dan keagamaan. Dari segi politik, ABRI masih dendam kepada Masyumi karena partai ini diizinkan kembali berkiprah di pentas politik nasional, maka menjadi ancaman serius bagi kekuatan orde baru dan militer. Bias keagamaan dengan jelas terlihat pada pernyataan 21 Desember yang merupakan hasil keputusan rapat komando militer regional ABRI yang dipimpin oleh Jenderal Panggabean. Tetapi, sayangnya Dr. Masyur tidak menyebutkan isi dokumen itu. Tetapi, David Jenkins mencatat pernyataan Soeharto yang berbunyi, “Our common every is Islam.” Bahkan, Hartono Ahmad Jaiz menyatakan, “Hantaman terhadap politik Islam masa orde baru yang masih tersisa sampai orde reformasi telah melebihi kadar yang dicanangkan arsitek penjajah, yakni Snock. Kalau Snock hanya mengkhawatirkan politik Islam, justru orde baru telah membabat pula norma-norma syariat, jilbab dilarang di sekolah dan perkantoran.”
Tahapan Pertama 1966–1976 Pada sidang MPRS, antara tahun 1966–1967, umat Islam mengajukan tuntutan agar presiden orang Islam dan negara berdasar Islam muncul kembali dan bisa dipastikan akhirnya ditolak. Melihat gelagat politik orde baru yang tidak beres, akhirnya para tokoh Islam menggunakan dakwah sebagai alat perjuangan dengan mengangkat slogan “Mengulamakan sarjana dan menyarjanakan ulama.” M. Natsir pada tanggal 9 Mei 1967 mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Pada tanggal 15 Februari 1968 Presiden Soeharto memberitahukan bahwa tidak seorang pun bekas Masyumi diizinkan untuk memimpin dan mengambil peranan dalam Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Dan, pemilu 1968 ditunda sampai dengan tanggal 1971 disebabkan karena beberapa faktor:
1. Usaha pemerintah untuk memperoleh jaminan agar persoalan dasar negara tidak diubah dan tidak menjadi program partai serta tidak muncul dalam kampanye.
2. Usaha pemerintah untuk membuat keseimbangan antara anggota DPR dari luar Jawa dengan Jawa.
3. Usaha pemerintah untuk mengangkat 100 orang dari 460 DPR oleh pemerintah dan 307 anggota MPR dari 920 anggota, termasuk 100 orang yang mewakili golongan fungsional: tentara, politisasi, intelektual.
Menjelang pemilu 1971, dukungan pemerintah untuk memenangkan Golkar dalam pemilu terlihat sangat jelas. Persiapan yang efektif dan strategis mengakibatkan Golkar–ketika itu masih disebut Sekber Golkar–jauh mengungguli partai-partai lainnya. Golkar berhasil meraih suara 62,80%, NU mendapat suara 18,67% (perolehan ini lebih banyak ketimbang hasil pemilu 1955 yang hanya 18,4%). Tetapi, Parmusi yang sering disebut pengganti Masyumi hanya mendapat suara 5,36% (padahal, pada pemilu 1955 Masyumi memperoleh suara 20,9%). Dua partai Islam kecil lainnya (PSSI dan Perti) juga kehilangan dukungan, karena masing-masing hanya mendpat suara 2,9% dan 1,39% pada pemilu 1955, dan mendapat suara 2,39% dan 1,70% pada pemilu 1971.
Pada Januari 1973 pemerintah orde baru melakukan restrukturisasi sistem kepartaian. Kecuali terhadap Golkar, pemerintah melakukan tekanan terhadap sembilan partai politik yang ada. Dalam plot politik ini, empat partai Islam digabung menjadi satu, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Lima lainnya, yang terdiri dari nasionalis dan partai-partai Kristen digabung menjadi satu partai, yakni Partai Dekomrasi Indonesia (PDI). Fusi yang artificial ini segera melahirkan konflik internal, terutama di tubuh PPP, yang akhirnya mempengaruhi penampilan politiknya di masa-masa berikutnya.
Tahap Kedua (1976–1986)
Agenda politik rezim orde baru mencakup depolitisasi Islam. Proyek ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi. Ada beberapa orang di kalangan elit pemerintah yang kecewa dengan kualitas dan kemampuan para pemimpin Islam tradisional. Lepas dari masalah phobia Islam tertentu di antara kebanyakan anggota kelompok yang berkuasa, yang secara kebetulan terdiri dari para intelektual sekuler (elit militer, sosialis, dan Kristen), pandangan demikian mengandung logika politiknya sendiri, yakni bahwa dengan mendepolitisasi Islam, mereka akan mempertahankan kekuasaan dan melindungi kepentingan-kepentingan mereka.
Dengan mempertimbangan asumsi tersebut, orang dapat melihat dimensi politik tertentu dari idiologi modernisasi atau pembangunan yang dijalankan oleh rezim. Penerapan idiologi ini merupakan keputusan strategis yang sekurang-kurangnya mempunyai dua implikasi politik.
Dengan mempertimbangan asumsi tersebut, orang dapat melihat dimensi politik tertentu dari idiologi modernisasi atau pembangunan yang dijalankan oleh rezim. Penerapan idiologi ini merupakan keputusan strategis yang sekurang-kurangnya mempunyai dua implikasi politik.
Pertama, rezim orde baru akan mempunyai suatu basis idiologis yang kuat yang menyentuh kebutuhan pokok rakyat, sehingga rakyat akan memberikan dukungan dan partisipasi dalam politik, atau seperti yang ditulis Alfian bahwa pembangunan menjadi salah satu simbol legitimasi politik.
Kedua, dukungan politik dan partisipasi rakyat pada gilirannya akan mempertahankan kontinuitas proses pembangunan dan kekuasaan rezim. Interaksi dinamis antara partisipasi politik dan pelembagaan politik kemudian diharapkan terjadi melalui rekayasa politik, termasuk depolitisasi Islam bisa diimplementasikan. Setelah pemerintah orde baru berhasil memaksakan partai-partai Islam berfusi dalam PPP, terlihat dari dokumen partai itu masih berjuang bagi kepentingan umat Islam dengan tanda gambar Ka’bah. Pada tahun 1977 pemerintah, melalui Menteri Dalam Negeri, Amir Mahmud dan Sekjen Departemen Agama, Bahrun Rangkuti, sangat keberatan terhadap penggunaan tanda gambar Ka’bah dalam pemilu tahun 1977. Tampilnya PPP sebagai partai Islam dianggap pemerintah sebagai ancaman. PPP dituduh mendapat bantuan dari Libya dan dihubung-hubungkan dengan komando jihad. Akhirnya, diciptakan isu SARA dengan membuat tragedi Tanjung Priok tanggal 12 September 1984. Klimaksnya, rezim orde baru pada tahun 1985 memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh parpol dan ormas. Inilah pohon buruk bernama orde baru dengan konsep Dwifungsi ABRI-nya.
Kedua, dukungan politik dan partisipasi rakyat pada gilirannya akan mempertahankan kontinuitas proses pembangunan dan kekuasaan rezim. Interaksi dinamis antara partisipasi politik dan pelembagaan politik kemudian diharapkan terjadi melalui rekayasa politik, termasuk depolitisasi Islam bisa diimplementasikan. Setelah pemerintah orde baru berhasil memaksakan partai-partai Islam berfusi dalam PPP, terlihat dari dokumen partai itu masih berjuang bagi kepentingan umat Islam dengan tanda gambar Ka’bah. Pada tahun 1977 pemerintah, melalui Menteri Dalam Negeri, Amir Mahmud dan Sekjen Departemen Agama, Bahrun Rangkuti, sangat keberatan terhadap penggunaan tanda gambar Ka’bah dalam pemilu tahun 1977. Tampilnya PPP sebagai partai Islam dianggap pemerintah sebagai ancaman. PPP dituduh mendapat bantuan dari Libya dan dihubung-hubungkan dengan komando jihad. Akhirnya, diciptakan isu SARA dengan membuat tragedi Tanjung Priok tanggal 12 September 1984. Klimaksnya, rezim orde baru pada tahun 1985 memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh parpol dan ormas. Inilah pohon buruk bernama orde baru dengan konsep Dwifungsi ABRI-nya.