Selasa, 23 Februari 2016

Teori Dasar Penelitian Agama W.B Sidjabat

A.    Latar Belakang

W.B. Sidjabat  dalam tulisannya berjudul Penelitian Agama: Pendekatan Dari Ilmu Agama dalam buku Mulyanto Sumardi berpendapat bahwa Ilmu Agama sebagai disiplin akademis yang mengkaji dan mendalami pelbagai seluk-beluk Agama, pada umumnya diakui baru dimulai pada awal abad ke 19, khususnya dengan tampilnya karya ahli-ahli seperti f. max. muller dengan karyanya “Introduction To The Science Of Religion yang dikemukakannya di Westmister Abbey, London 1873 di kalangan cerdik pandai dan tokoh Agama.  Bukan hanya Jerman saja, namun juga berasal dari Belanda di antaranya Cornelis P. Tele (1830-1920), G. Van Der Leuw (1890-1950) hingga dewasa ini, melanjutkan usaha Max Muller.
Britania Raya juga berkontribusi melahirkan tokoh-tokoh besar seperti E.B. taylor (1830-1917) dan james george frezer (1854-1941). Pada zaman W.B. Sidjabat tampil juga tokoh baru seperti Walter Kaufmann, juru kritik yang tajam meneliti tentang agama dan filsafat. Di dunia barat banyak sekali yang membahas tentang kajian agama. W. B. Sidjabat menggambarkan secara umum perkembangan pengkajian tentang Ilmu Agama di negara-negara eropa, amerika, asia dan afrika, yang di hasilkan dari perbagai latar belakang.  Di asia sendiri seperti J. Takakusu dari jepang yang telah banyak jasanya dalam memperkenalkan budhisme pada penghujung abad ke 19, tak kurang nilainya daripada karya tokoh-tokoh dunia barat tersebut. Setelah takakusu, D.T. suzuki juga menghasilkan karya ilmiah dalam jumlah yang besar tentang zen budhisme. Di india juga terdapat tokoh yang bernama S. radhakrisnan selaku pundit (golongan terpelajar) Ilmu Agama dan filsafat india terbesar pada abad ke 20.
Dalam bidang ilmu agama dari tokoh-tokoh yang berasal dari Indonesia menjadi sesuatu yang harus ada. Mereka membahas tentang agama atau aspek dari agama yang telah dianutnya di Indonesia ini, namun yang benar-benar berjalan pada rell agama sebagai disiplin yang dikaji secara mendalam serta sungguh-sungguh, tidaklah seberapa. Jalan ke arah tersebut sudah dirintis oleh tokoh-tokoh seperti, Prof. Dr. Husein Djajaningrat dan Prof. Dr. Poerbatjarata, yang kemudian disusul oleh para tokoh lainnya. Sepanjang sejarah di Indonesia, yang diketahui di kalangan penganut agama Islam antara lain; Prof. Dr. Hamka KA, Prof. Dr. Rasjidi, Prof. Dr. Mukti Ali, Prof. Dr. Harsya W. Backtiar, Prof. Dr. Harun Nasution dan lain sebagainya. Dari kalangan penganut agama Hindu seperti G. Pudja MA dan Tjokorda Rai Sudharta MA.
Kemudian, dari kalangan peneliti dari penganut agama Kristen menurut penyelesaian disertasi adalah Prof. Dr. Ph. O.L Tobing (1956), Prof. Dr. W.B Sidjabat (1960), Prof. Dr. Harun Hadiwiyono (1967), Dr. Jansen Pardade (1975) dan Dr. Victor Tanja (1979). Para sarjana Kristen ini yang bergelar Doktor lainnya di Indonesia umumnya mengadakan spesialisasi bidang seperti Biblika, Sistematika, Historika, Praktika dan Pendidikan Agama Kristen.
Dengan banyaknya sarjana dalam bidang ilmu agama, menurut Sidjabat masih belum menemukan suatu pengertian yang bersifat universal. Artinya definisi tentang agama masih belum menemukan suatu kesepakatan dari berbagai agama yang ada, khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa peneliti agama belum mendapatkan tempat yang sewajarnya dalam dalam dunia ilmu pengetahuan, mereka hanya menekankan pada aspek sosialnya dan melihat agama timbul dari pergaulan sesama manusia. Cara seeperti ini banyak digunakan oleh ahli sosiologi dan ahli antropologi sosial dalam melihat agama itu sendiri. Sudah barang tentu pendekatan yang demikian tidak akan memperoleh pengertian yang tepat tentang agama.
Sudah banyak orang Indonesia yang ikut membahas agama atau aspek dari agama yang dianutnya di Indonesia, akan tetapi yang benar-benar bergerak dan mengkaji agama dengan sungguh-sungguh, belum seberapa banyak. W.B. Sidjabat mengatakan bahwa tujuan penelitian agama-agama dalam rangka Ilmu agama secara umum terbagi menjadi dua bagian. Pertama, hal-hal yang positif yang terdiri dari mebina hubungan yang karib secara pribadi, memperdalaam pengentahuan dari agama-agama lain, menciptakan lingkungan yang religiusdi kalangan umat beragama, dan merangsang kerja sama umat beragama secara praktis dan kedua, mencakup dalam hal-hal yang dirumuskan secara negatif. Penelitian agama bukan bertujuan sebagai manipulasi politik, ekonomi, sosial dan militer, dominisi satu agama dan enggan agama yang lain, mecari kelemahan-kelemahan agama lain.

B.     Permasalahan
Dalam pernyataan diatas maka dapat diambil suatu permasalah untuk menjadi kajian dari makalah ini yaitu :
1.      Bagaimana penelitian agama serta cangkupan ilmu agama menurut W.B. Sidjabat?
2.      Apa saja fungsi penelitian agama menurut W.B. Sidjabat?

C.    Telaah Penelitian
Sudah banyak penelitian tentang agama yang dilakukan para pakar di dunia barat. Akan tetapi Mukti Ali dalam penelitian agama di Indonesia mengutarakan bahwa pengetahuan tentang agama Islam yang di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang berari dibanding dengan perubahan-perubahan yang terjadi dikehidupan masyarakat Indonesia. Mukti Ali juga mengemukakan dengan penelitian agama diharapkan dapat mengetahui perwujudan sosial dan kultural dalam agama Islam dan juga agama-agama laian dalam masyarakat Indonesia.[1] Penelitian agama di Indonesia sangat penting karena Indonesia adalah bangsa yang religius, dan masyarakat sosialistis religius. Penelitian agama adalah penting bukan saja bagi kalangan ilmuwan dan dunia ilmu pengetahua, akan tetapi juga bagi para perencana dan pelaksana pembangunan di Indonesia sendiri.
H.A. Ludjito mengemukakan penelitian terhadap seluruh isi alam akan membawa seseorang kepada kesadaran tentang adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya dan akan membantu memperkuta masyarakat percaya dengan Tuhannya. Beliau mengatakan juga bahwa pendekatan tentang penelitian agama yang dilakukan dunia barat kepada Indonesia mengelirukan. Karena mereka berpendapat perlunya pendekatan barat terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Padahal penelitian ini memberikan gambaran yang salah dan tidak tepat terhadap kehidupan masyarakat Indonesia.[2]
Taufik Abdullah mengatakan bahwa agama adalah pantulan dari solidaritas sosial. Penelitian agama berarti ketersediaan untuk mendekati secara aspektual.[3]

D.    Metodologi Penelitian
Metode berperan penting dalam suatu penelitian. Suatu penelitian akan dianggap mempunyai arti yang tepat apabila dapat memberikan suatu metode yang tepat pula. Secara hemat, metode adalah suatu cara atau jalan seseorang dapat mengetahui dan menjelaskan suatu permasalahan atau problematika dengan cara penelitian.
Dalam penelitian agama pakar-pakar yang ahli dalam penelitian agama tidak hanya memakai satu metode untuk mengungkapkan suatu kebenaran. Akan tetapi, pakar-pakar menggabungkan dari berbagai metode yang didapat atau ditemukannya. Banyak para ilmuwan dalam penelitian agama menggunakan metode seperti metode teologi, metode filologi, metode antropologi. Seperti halnya F.X Muller dalam pembahasannya tentang arti agama yang memakai metode filologi dan menggunakan metode yang lain. Karena satu metode belum dikatakan benar. W.B sidjabat mengomentari dari hasil metode yang filologi yang yang digunakan Muller bahwa metode ini digunakan muller karena metode ini berkaitan dengan zaman Aufklarung.
Suatu penelitian yang penulis sampaikan disini berdasarkan metode bahasa (filologi) dan metode teologi dan kehidupan dalam keseharian masyarkat. Apabila hanya menggunakan metode bahasa, maka masih bersifat abstrak dan masih simpang siur dengan pengertiannya. Dan apabila menggunakan metode teologi saja maka tiap agama berbeda-beda akan pendapatnya. Maka dari pada itu dalam karangan W.B. Sidjabat menggunakan ke tiga metode yang dapat mengerti maksud yang dituju.

E.     Ruang Lingkup
Menurut W.B. Sidjabat ilmu agama sebagai disiplin akademis yang mengkaji dan mendalami  pelbagai seluk-beluk agma , seperti yang telah diakui pada penghujung abad ke-19 dan yang telah kita bahas dilatar belakang oleh karya-karya para ahli dari dunia barat. Menurut W.B.Sidjabat pemaparan nama-nama dan karya-karyanya tersebut bertujuan untuk menunjukkan bahwa ilmu agama bukanlah merupakan ilmu yang ditangani oleh para sarjana dari dunia barat saja, atau bisa dikatakan hanya oleh mereka yang dahulu lazim disebut “orientalis” dan “indolog”. Sama halnya dengan universalnya gejala agama, universal pula menjadi partisipasi para pemikir dari berbagai bangsa yang mendiami bumi ini.
Meskipun para sarjana dari suatu bangsa yang berperan dalam penelitian ini ada yang mendahului yang lain, sesuai dengan talenta dan perkembangan yang ada dan berkaitan satu dengan yang lainnya dengan kemungkinan dan fasilitas yang ada pada suatu waktu dan tempat. Namun keinginan dan keprihatinan (concern) untuk turut aktif dalam bidang ilmu agama terbuka untuk semua pihak. Seperti terbuka nya ilmu pengetahuan untuk semua pihak secara universal.[4]
Walaupun nama para sarjana itu dijajarkan berdekatan dalam rangkaian ilmu agma , namun bukanlah berarti bahwa mereka semua memakai metodologi yang sama. W.B. Sidjabat juga menambahkan bahwa seorang ahli ilmu agma tidak harus memakai satu metodologi saja, tetapi dapat juga menerapkan beberapa metodologi secara serentak terhadap suatu karya. Seperti contoh yang diambil oleh beliau, F.Max Muller, memulai studinya dalam bidang sanskerta, yakni disiplin ilmu bahasa (filologi). Muller mendalami Hinduisme yang membawanya kepada pemikiran yang memahami agama cenderung secara rasionalistis dan sepanjang yang dapat tertuang dalam rumusan bahasa. Dari sinilah kekuatan metode pendekatan F.Max Muller.
Menurut W.B. Sidjabat metode yang digunakan Muller adalah awal kelemahan dari metodenya. Beliau juga berkata bahwa memang benar agma itu sebaiknya dipelajari dalam bahasa aslinya, dan dalam ungkapan-ungkapan filologis agama itu sendiri, namun seluruh dimensi agama itu tidak boleh dibatasi dengan pemahaman dari bahasa belaka. Masih ada dimensi yang cukup mendalam pada agma yang dihayati, tetapi sama sekali tidak tertuang dalam rumusan-rumusan bahasa. Karena hal itu kurang diperhatikan. Beliau menjelaskan akhirnya metodologi Mulller masih juga masih sangat rasionalitas yang cenderung memahami agama di dunia barat zaman Aufklarung.[5] Akan tetapi F.X Muller tidak hanya memakai metodologi ini saja karena dalam himbauannya untuk ilmu agama “yang tidak memihak” alias netral, ia juga mengutarakan pendapatnya melalui perbandingan agama-agama. Dari sinilah bahwa benar dikatakan oleh W.B. Sidjabat dalam penelitian agama tidak hanya menggunakan satu metodologi saja, akan tetapi juga dapat menerapkan dengan berbagai metodologi secara serentak.
Metodologi yang dipergunakan oleh berbagai eksponen agama itu banyak tergantung pada minat individual yang bersangkutan untuk mengadakan kegiatan pergumulan, pengolahan, penulisan dan pengungkapan lainnya. Dari nama-nama para ahli diatas menunjukkan garis datar ilmu agama dan para pemikirnya, agar mengetahui luasnya bidang cangkup (concern) yang dihadapi. Bidang cangkup (concern) ilmu agma itu banyak tergantung pada pengertian setiap orang tentang apa yang dimaksudkan dengan agama. W.B. Sidjabat mengatakan kata “agama” dipahami di Indonesia sebagai kata yang berasal dari bahasa sanskerta. akan tetapi beliau mengatakan bahwa pemahaman tentang agama masih simpang siur. misalnya ia mengambil contoh Haji zainal arifin abbas dalam bukunya perkembangan pikiran terhadap Agama, mengatakan bahwa arti Agama adalah “tidak kacau”: a berarti tidak dan gama berarti kacau. Di pihak lain, menurut “kamus jawa kuno-indonesia” (susunan L mardiwarsito), arti Agama itu ialah “ilmu”, “pengetahuan”; (“pelajaran Agama”). Kedua penulis itu mengatakan bahwa Agama berasal dari bahasa sanskerta. Dalam pada itu “kamus umum bahasa indonesia” susunan W.J.S. Poerwadarminta, cetakan V (1976),- dan sudah diolah kembali oleh pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, memberikan rumusan sebagai berikut: “Agama ialah segenap kepercayaan (kepada tuhan, dewa dan sebagainya) serta ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu”. Rumusan terakhir tidak menyebutkan bahwa asal kata Agama dari bahasa sansekerta.
Sekalipun demikian, menurut Sidjabat berdasarkan banyak penelitian pada kamus-kamus bahasa indonesia (Melayu), batak, jawa, seperti kamus susunan Klinkert (1996) H.N. Van Der Tuuk (Bataksch- Nederduitsch Woordenboek, 1861) dan Joh. Warneck (Toba-Batak-Deutsches Worterbuch, 1905), juga kamus Otto Karow-Irene Hilgers-Hesse, (Indonesisich Deutsche Worterbuch, 1962), nyatalah menurut Sidjabat bahwa kata Agama itu berasal dari bahasa sansekerta, sekalipun kamus-kamus tersebut tidak memberikan etimologinya. Sidjabat menyimpulkan makna kata Agama dan etimologi kata Agama yang paling banyak ditemukan dan yang lebih mempengaruhi pemahaman orang tentang kata Agama di dalam masyarakat indonesia adalah kata Agama yang diberikan oleh Haji Zainal Arifin Abbas.  Akan tetapi beliau mengkritisi bahwa sangat disayangkan, penjelasan Zainal Arifin Abbas tidak disertai penjabaran tentang arti dan fungsi Agama dalam bentuk yang lebih mendalam.[6] Beliau juga menganalisis makna agma yang diberikan oleh L. Mardiwarsito diatas karena agak bergeser kepada arti intelektual dari agama itu, yakni “ilmu”, “pengetahuan” dan “(pelajaran) agama”. Sidjabat mengatakan dalam buku ini bahwa kata “agama” dimaksudkan sebagai way of life yang membuat hidup manusia itu tidak kacau. Fungsi agama oleh Sidjabat dalam pengertian ini ialah memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan tidak kacau (a gama), dengan sesama manusia dan dengan alam yang mengitarinya. Menurut makna dan fungsinya, pengertian itu pulalah yang ditemukan dalam kata religion (Inggris), religion (Jerman), religie (Belanda), religion (Prancis), religion (Spanyol). Semua kata itu memang berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya ialah religare yang berarti mengikat. Arti kata religio mencakup way of life. Dalam pengertian itu, religio atau way of life berikut peraturan-peraturannya tentang kebaktian dan kewajiban-kewajibanya, merupakan alat untuk mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya terhadap Tuhan, sesama manusia, dan terhadap alam yang mengitarinya.
Fungsi agama menurut pengertian yang berasal dari religare itu ialah untuk merekatkan atau atau menyemen berbagai unsur dalam memelihara keutuhan diri manusia, diri orang perorangan atau diri sekelompok orang, dalam hubungannya terhadap Tuhan, terhadap sesama manusia dan terhadap alam yang mengitarinya. Sekalipun kata din dalam Islam, biasanya berdasarkan surat Ali Imran yang artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[7] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.[8]
Ayat ini ditafsirkan berlaku hanya untuk pengertian agama Islam, dalam rangkaian kelima unsur Arkanul Islam, iman dan ihsan. Namun arti din dalam bahasa arab dapat juga dipahami sebagai lembaga ilahi (wad’ilahi) yang memimpin manusia untuk keselamatan di dunia dan akhirat.
Secara fenomenologis dapat dikatakan bahwa fungsi din adalah sebagai alat yang mengatur, mengantar dan memelihara keutuhan diri manusia dalam hubungannya dengan  Tuhan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitar yang mengitarinya. Didalam penghayatan dan pelaksanaan praktis terhadap agama, manusia melakakukan sesuatu yang terkandung dalam way of life sebagai :
1.      Ucapan syukur kepada tuhan Allah
2.      Pemuliaan (adoration) terhadap sang khalik alam semesta raya
3.      Selaku bentuk pelayanan, baik kepada sang Khalik maupun kepada sesamanya (makhluk)
Sebenarnya arti yang dalam dari kata din adalah hal yang sangat pribadi dan intim antara manusia dan sang Khalik, sekalipun hal ini diwujudkan dalam rangkaian kehidupan yang pribadi dan kehidupan yang kolektif. Dari segala pernyataan diatas, Sidjabat mendefinisikan arti dari din  secara tentatif :
Agama adalah keprihatinan yang maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari Yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur (ultimate concern) ini diungkapkan dalam hidup manusia (pribadi dan berkelompok) terhadap Tuhan, terhadap manusia dan alam semesta raya beserta isinya.[9]
Dan disadari juga sampai saat ini kenyataannya terdapat juga agama dan praktek agama yang sudah menyimpang dari garis yang sebenarnya, hal seperti ini juga sudah terjadi dalam sejarah. Itulah sebabnya Islampun mengadakan perbedaan antara din al-haq yaitu agama yang benar dan din al-mubaddal yaitu agama yang tidak asli lagi. Din almubaddal adalah agama yang tidak berjalan pada jalan yang lurus.
W.B. Sidjabat mengemukakan beberapa fungsi dan tujuan dari agama yaitu :
1)      Membina hubungan yang akrab secara pribadi.
2)      Memperdalam pengetahuan tentang anutan umat beragama yang lain.
3)      Membina etika religius dikalangan umat beragama agar gemar saling menaruh respek.
4)      Meragsang kerjasama umat beragama secara praktis.[10]
Fungsi agama menurut Sidjabat terdapat empat fungsi dan kegunaan agama secara praktis yaitu sebagai berikut :
1.         Membina kesadaran beragama yang lebih mendalam.
Ilmu agama mempunyai fungsi dan kegunaan untuk membina kesadaran beragama yang lebih mendalam. Bukan hanya memiliki pengetahuan yang umum saja tentang agama-agama yang ada di dunia ini, melainkan juga agar manusia juga dapat sampai ke taraf refleksi dan pengkajian, mengapa ia menganut suatu agama. pembinaan kesadaran yang mendalam ini berfungsi agar manusia dapat mengetahui dan mengkaji lebih dalam tentang agama itu sampai pemahaman yang jernih tentang kepercayaan dan keyakinan tersebut

2.         Memelopori sikap ilmiah (terbuka) terhadap kebenaran.
Walaupun kebenaran yang diketahui oleh orang yang terdahulu perlu kita pelihara. Akan tetapi dengan keadaan zaman yang bertambah maju dan bertambah luas akibat ilmu agama itu maka harus menanamkan suatu sikap yang bersedia terbuka secara ilmiah tentang kebenaran-kebenaran yang baru.

3.         Memupuk etika kerja, penghargaan waktu yang menunjang lancarnya pembangunan.
Dengan pengenalan kita dengan hal-hal yang baru tentang kebenaran-kebenaran yang ada dari sikap terhadap kerja dan waktu. Tanpa membersar-besarkan kelemahan agama yang lain, maka akan diketahui bahwa sikap mental yang sehat dan segar terhadap kerja dan waktu itu penting sekali dalam rangka pembangunan.

4.         Menjaga keseimbangan antara yang rohani dengan yang jasmani.
Dari pemahaman tentang ilmu agama dari agama-agama yang memisahkan antara bidang yang rohani dan jasmani, antara yang sacred dengan yang sekuler, akan membawa manusia kepada dualisme yang sangat merugikan bagi manusia itu sendiri. Dari pada itu harus ada keseimbangan antara rohani dan jasmani agar mendapatkan kebahagian di dunia dan diakhirat.

5.         Membantu pemerintah dalam pengadaan gambaran yang lebih lengkap tentang seluk-beluk persoalan agama-agama di dalam masyarakat.[11]

F.     Sumbangan Keilmuwan
Hasil dari pembahasan diatas memberikan suatu sumbangan dalam pengetahuan yang penting dalam pengertian tentang ilmu agama. pengetahuan tentang ilmu agama akan berguna sebagai kesadaran umat beragma dengan agama yang dianut lebih mendalam. Jadi bukan hanya mendapatkan suatu pengetahuan umum saja tentang keagamaan akan tetapi dapat menimbulkan pikiran yang jernih yang sampai kebatas keyakinan.
Penelitian tentang agama juga memberikan kita sikap untuk menanggapi kebenaran baru yang ada dalam perkembangan zaman. Apabila hanya mengikuti pengetahuan kita dan tidak menanggapi kebenaran-kebenaran yang baru, maka akan merasa puas dengan pemahaman yang sedikit tersebut. Maka dari pada itu harus terbuka dengan suatu kebenaran-kebenaran yang baru agar tidak bersifat tradisionalisme.
Penelitian agama yang mendalam dan meluas pasti akan berkenalan dengan kerja dan waktu. Sikap mental yang kuat dan sehat terhadap kerja dan waktu itu penting untuk pembangunan di bangsa ini.
Segala yang terdapat dalam kehidupan tidak boleh berat sebelah antara rohani dan jasmani. Apabila rohani yang berkembang dalam kehidupan, maka tiap orang tidak menghiraukan keadaan yang berlangsung dalam masyarakat. Akan tetap apabila jasmaninya saja yang dilakuka maka akan berdampak buruk bagi kedekatannya terhadap sang pencipta. Dari pada itu, antara rohani dan jasmani haruslah berjalan yang searah dan tidak berat sebelah.

G.    Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah terurai panjang lebar diatas maka W.B. Sidjabat menyimpulkan bahwa hasil penelitian ilmu agma itu an sich adalah netral dan untuk maksud ilmiah. Tetapi dalam pemanfaatan hasil penelitian itu terdapatlah kemungkinan menggunakan, untuk tujuan-tujuan yang konstruktif dan positif atau juga untuk tujuan-tujuan yang destruktif dan negatif.
Dan dari pembahasan diatas maka dapat diambil kesimpulan seperti berikut :
1.      Penelitian agama harus diteliti secara mendalam. Karena penelitian secara mendalam menjadikan suatu agama sebagai suatu aturan atau panutan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dan alam sekitar yang mengitarinya. Penelitian agama yang mendalam juga dapat menjadi perekat atar umat beragama yang dapat menimbulkan suatu sikap saling menghargai antar sesama umat beragama.
2.      Fungsi dari penelitian agama adalah membina kesadaran beragama yang lebih mendalam, memelopori sikap ilmiah (terbuka) terhadapat kebenaran, memupuk etika kerja, penghargaan waktu yang menunjang lancarnya pembangunan, menjaga keseimbangan antara yang rohani dengan yang jasmani, membantu pemerintah dalam pengadaan gambaran yang lebih lengkap tentang kenstelasi agama-agama di dalam masyarakat

  
H.    Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik, 1989, Metodologi Penelitian Agama, cet I, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.
Al-Qur’an Al-Karim.
Sumardi, Mulyanto, 1982, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, cet I, Jakarta : P.T Sinar Agape Press.




[1] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, cet I, (Jakarta : P.T Sinar Agape Press, 1982), hlm 22.
[2] Ibid hlm 4
[3] Taufik Abdullah, metodologi penelitian agama, cet I, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1989), hlm 31.
[4] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, cet I, (Jakarta : P.T Sinar Agape Press, 1982), hlm 73.
[5] Aufklarung (jerman) yang artinya zaman pencerahan, zaman aufklarung adalah zaman setelah zaman renaissance. Renaissance pandangannya menjuru kepada peremajaan pemikiran kalu aufklarung menjuru kepada pendewasaannya. Dikutip dari http://kependidikanislam2010.blogspot.com/2011/06/filsafat-modern-renaissance-dan.html di aksese pada tanggal 06 November 2014
[6] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, cet I, (Jakarta : P.T Sinar Agape Press, 1982), hlm 75-76.
[7] Maksudnya ialah Kitab-Kitab yang diturunkan sebelum Al Quran.
[8] Q.S Ali Imran ayat 19.
[9] Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, cet I, (Jakarta : P.T Sinar Agape Press, 1982), hlm 78.
[10] Ibid hlm 81.
[11] Ibid hlm 94-97.

kekerasan HAM terhadap Palestina

A.    LATAR BELAKANG
Masalah hak asasi manusia termasuk masalah yang sangat dilihat oleh lapisan masyarakat. Setiap orang mempunyai hak asasi yang ingin diakui. Masalah hak asasi manusia juga merupakan isu internasional dan menjadi bahan perbincangan yang sangat menonjol. Hal ini bukan hanya teori belaka akan tetapi harus memerlukan perhatian yang kritis, karena masalah hak asasi manusia sangat berpengaruh kedalam kehidupan setiap lapisan masyarakat yang hidup di bumi ini.
Hak asasi manusia (HAM) merupakan landasan bagi kebebasan, keadilan, dan kedamaian. HAM menyangkut semua aspek yang dibutuhkan manusia untuk tetap menjadi manusia, baik dari kehidupan sipil, politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Oleh karena itu secara konseptual, HAM mengandung ciri-ciri yaitu:
1.      HAM tidak perlu diberikan ataupun diwarisi. HAM adalah suatu yang dimiliki karena sifat kemanusiaan kita, sehingga dengan sendirinya kita mempunyai hak asasi. Dengan demikian HAM adalah bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi manusia.
2.      HAM berlaku untuk semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnisitas, pandangan politik, atau status sosial dan ekonomi, serta asal bangsa. Tiap manusia lahir dengan harkat dan martabat yang sama. HAM bersifat universal karena semua orang di seluruh dunia memiliki hak asasi yang sama.
3.      HAM tidak dapat dilanggar, tidak seorang pun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM, walaupun negara seringkali menetapkan keputusan hukum yang tidak melindunginya atau bahkan melanggarnya.[1]
 Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Hak-hak asasi manusia pada dasarnya merupakan hak yang kodrati yang diperolehnya dari Tuhan Yang Maha Esa. Kesadaran manusia terhadap hak-hak asasinya semakin tampak diinsyafi bila manusia telah saling berhubungan antara satu dengan lain di dalam pergaulan masyarakat dan lebih-lebih lagi bila menghadapi kekuasaan negara. Oleh karena itu perjalanan sejarah antar manusia dan bangsa terhadap hak asasi tidak terlepas dari sejarah perkembangan pasang surut keadaan manusia terhadap hak-hak asasinya.[2]
 Suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah oleh siapapun bahwa setiap manusia yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sejak lahir dan hadir dalam kehidupan bermasyarakat, memiliki hak-hak asasi. Hak-hak asasi itu merupakan hak-hak dasar yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di permukaan bumi. Hak asasi manusia itu berlaku tanpa adanya perbedaan atas dasar keyakinan agama atau kepercayaan, suku bangsa, ras dan jenis kelamin dan status sosial.  Karena itu hak-hak asasi manusia itu mempunyai sifat-sifat suci, luhur dan universal.
Akan tetapi tidak semua negara yang mengangkat hak asasi manusia. Banyak negara yang mengabaikan tentang hak asasi manusia. Seperti contoh pelanggaran ham di Cairo, pelanggaran ham yang dilakukan Adolf Hitler semasa menjabat sebagai kanselir Jerman. Kekuasaan dapat menentang adanya ham di negara. Dari makalah ini saya akan mengambil tema pelanggaran ham yang terjadi pada masa konflik Israel dan Palestina. Banyak hal yang menarik dalam konflik ini. Padahal deklarasi ham sudah ada akan tetapi konflik ini tidak ada habisnya.
Konflik Palestina – Israel menurut sejarah sudah 44 tahun ketika pada tahun 1967 Israel menyerang Mesir, Yordania dan Syria dan berhasil merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Syria), Tepi Barat dan Yerussalem (Yordania). Sebelumnya Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour tahun 1917 yang menjanjikan sebuah negara bangsa Yahudi di Palestina, dengan menghormati hak-hak umat non-Yahudi di Palestina.1 Sampai sekarang perdamaian sepertinya jauh dari harapan, ditambah lagi terjadi ketidaksepakatan tentang masa depan Palestina dan hubungannya dengan Israel di antara faksi-faksi di Palestina sendiri hingga jutaan dari mereka terpaksa mengungsi ke Libanon, Yordania, Syria, Mesir dan lain-lain.
Konflik Israel-Palestina seringkali dipahami sebagai konflik Yahudi-Islam dan hal ini berhasil mensugesti hampir seluruh dunia Islam untuk membenci Yahudi. Sikap anti-pati terhadap Yahudi di kalangan mayoritas Islam bahkan telah ditanamkan demikian mengakar mulai dari lingkungan keluarga hingga institusi pendidikan Islam. Hingga terjadi konflik Israel- Palestina yang dalam banyak hal dipandang sebagai konflik Yahudi-Islam, analisis tentang masalah politik sebagai pemicu konflik juga banyak digulirkan berbagai pihak. Konflik ini misalnya, merupakan konflik yang dipicu oleh klaim hak atas tanah Palestina dari kedua pihak yang bertikai.[3]

B.     RUMUSAN MASALAH
Dalam uraian diatas maka dapat diambil suatu pertanyaan yaitu:
1.      Apa yang menyebabkan terjadinya konflik antara Israel dan Palestina?
2.      Bagaimanakan bentuk-bentuk pelanggaran ham yang dilakukan Israel kepada penduduk sipil Palestina?
C.    PEMBAHASAN
Sejak negara Israel lahir secara ilegal, rakyat Palestina dan tanah Palestina telah menjadi subyek dari pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran yang dilakukan oleh Israel. Konflik yang berkepanjangan yang disebabkan oleh pendudukan Israel sampai sekarang (2011) telah menghasilkan tidak hanya krisis politik, tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran berat terhadap hukum kemanusiaan dan kejahatan besar terhadap kemanusiaan.
Khususnya di Jalur Gaza. Blokade atau pengepungan Jalur Gaza sejak tahun 2006 dan tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh Israel seperti Operasi Cast Lead pada 27 Desember 2008-18 Januari 2009 dan intersepsi bantuan kemanusiaan armada Kebebasan (Freedom Flotilla) yang merupakan kejahatan hak asasi manusia dan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949. Menurut Konvensi Jenewa, penduduk sipil dan pejuang yang sakit atau menjadi Tahanan Perang (Prisoner of War) jelas bukan target militer. Oleh karena itu, harus dilindungi oleh kekuatan pelindung.[4]
Orang-orang Palestina yang hidup di tenda-tenda pengungsian menghadapi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan. Mereka hanya bisa menggunakan air dan listrik jika orang Israel mengizinkannya, dan berjalan bermil-mil untuk bekerja demi upah yang amat rendah. Bagi mereka yang pergi bekerja atau mengunjungi kerabat yang tinggal di dekat kamp pengungsian, perjalanan itu seharusnya tidak lebih dari lima belas menit saja. Akan tetapi, kejadiannya sering berubah menjadi mimpi buruk karena pemeriksaan identitas di tempat-tempat pemeriksaan yang sering dilakukan, di mana para tentara yang bertugas melakukan kepada mereka pelecehan, penghinaan, dan perendahan. Mereka tidak dapat berpindah dari tempat satu ke tempat lainnya tanpa passport. Dan karena tentara-tentara Israel sering menutup jalan dengan alasan keamanan, orang-orang Palestina sering tidak dapat pergi bekerja, pergi ke tempat yang ingin mereka tuju, atau bahkan untuk menuju rumah sakit ketika mereka jatuh sakit. Bahkan, orang-orang yang hidup di tenda-tenda pengungsian tiap hari hidup dalam rasa takut akan dibom, dibunuh, dilukai, dan ditahan, karena pemukiman orang-orang Yahudi.
Konflik Palestina – Israel menurut sejarah sudah 31 tahun ketika pada tahun 1967 Israel menyerang Mesir, Yordania dan Syria dan berhasil merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Syria), Tepi Barat dan Yerussalem (Yordania).. Sampai sekarang perdamaian sepertinya jauh dari harapan. Ditambah lagi terjadi ketidak sepakatan tentang masa depan Palestina dan hubungannya dengan Israel di antara faksi-faksi di Palestina sendiri. [5]
Banyak sekali pelanggaran ham yang dilakukan oleh Israel. Terdapat bukti pelanggaran yang dilakukan oleh angkatan pertahanan Israel (IDF):
1.      Pembunuhan yang disengaja
2.      Penyiksaan dan perlawanan secara tidak manusiawi
3.      Dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius pada tubuh dan kesehatan,
4.      Menyita secara tidak sah properti milik Freedom Frotilla.
Dari semua pelanggaran yang dilakukan Israel, terdapat beberapa hak yang dijamin dalam hukum hak asasi manusia internasional yaitu:
1.      Hak untuk hidup.  Yang terdapat dalam pasal 6 konvenan internasional[6]tentang hak sipil dan politik (ICCPR) “perlindungan hak hidup”,
2.      Penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau tindakan merendahkan atau hukuman. Terdapat dalam pasal 7 ICCPR dan konvensi menentang penyiksaan (CAT)[7] “larangan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia”,
3.      Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi dan kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang atau penahanan. Terdapat dalam pasal 9 ICCPR “larangan penahanan atau penangkapan secara sewenang-wenang”,
4.      Hak tahanan harus diperlakukan secara manusiawi dan menghormati martabat yang melekat pada manusia. Terdapat dalam pasal 10 ICCPR “hak semua orang yang berasal dari kebebasannya untuk diperlakukan secara manusiawi”,
5.      Kebebasan berekspresi. Terdapat dalam pasal 19 ICCPR”kebebasan berekspresi dan berpendapat dan kebebasan untuk mencari dan menerima informasi”,
6.      Hak atas pemulihan yang efektif[8]
Pelanggaran ham yang dilakukan Israel tampaknya diabaikan oleh pengadilan Internasional. Bagaimana tidak, semua yang dilakukan Israel tidak ada tanggapan sama sekali, hanya meliput semua aktifitas yang dilakukan Israel.
Tudingan bahwa “Israel is the Real Terrorist” memberikan pembenaran terhadap penggunaan istilah Israel sebagai Negara terorisme (State Terrorism) sepertinya masuk akal. Sikap pembangkannya terhadap kesepakatan kesepakatan atas perjanjian internasional, juga karena berlapis-lapisnya perilaku negara dalam tindakan kejahatan Israel terhadap Palestina. Misalnya, kejahatan jenosida (genocide) kejahatan perang (war crime), kejahatan kemanusiaan (crime against humanity), dan kejahatan agresi yang mengancam perdamaian dan tata tertib dunia (crime of aggression that threatens world peace). Sekaligus tindakan dan kebijakan pemerinthan Israel yang bertentangan dengan nilai-nilai universal HAM tidak dapat dipungkiri.
Ada beberapa alasan untuk menempatkan kedudukan Israel sebagai Negara berdaulat pembangkang hukum internasional. Tindakan agresi militer Israel ke Gaza sebagai kejahatan perang. Antonio Cassese memaknai sebagai kejahatan berat terhadap hukum kebiasaan (War crimes are serious violations of customary or treaty rules) khususnya terkait dengan pelanggaran dalam hukum perang, Geneva Convention 1949, dilengkapi dengan protocol tambahan 1977.
Fakta tersebut di atas menujukan bahwa pertama, perbuatan peperangan tersebut merupakan bentuk dari kejahatan karena telah memenuhi syarat adanya pelanggaran berat yang telah diatur oleh peraturan hukum internasional. Tempat-tempat yang seharusnya bukan menjadi sasaran bagi militer malah menjadi terlibat dari serangan militer. Sehingga nilai-nilai kemanusiaan yang mestinya dilindungi justru telah menjadi korban peperangan.
Kedua, tindakan militer Israel dikualifikasikan sebagai pelanggaran dalam hukum perang internasional yang membebankan adanya suatu pertanggung jawaban hukum secara individual. Mengingat kebijakan penyerangan atas keputusan politik Perdana Menteri, Menteri Pertahanan yang didukung oleh sebagian besar anggota parlemen, maka terdapat hak bagi masyarakat internasional untuk memidanakannya secara internasional atas perencana, pembuat kebijakan dan pelaku di lapangan. Dalam ILC (International Law Commission) 1996, dirumuskan rancangan konvensi bahwa, petanggungjawaban dapat dibebankan pada seseorang yang menjadi pemimpin, atau pengorganisir yang secara aktif terlibat di dalamnya memerintahakan untuk membuat perencanaan, persiapan, permulaan untuk melakukan agresi peperangan yang dilakukan oleh Negara harus bertanggungjawab atas tidakan agresi.
Ketiga, tindakan yang dilakukan oleh militer Israel ke Palestina merupakan kejahatan yang melibatkan masyarakat sipil yang mana alasan untuk membela diri menjadi tidak relevan. Di satu pihak, tindakan militer Israel telah melanggar tiga prinsip funademental dalam hukum humaniter yaitu, melakukan tindakan balasan tidak proporsional atau tidak pantas dan melebihi apa yang seharusnya (necessity). Pihak yang bukan anggota militer atau combattan telah dijadikan sandra atau subyek dalam peperangan untuk mencari musuh musuh sebenarnya. Sehingga pemukiman-pemukiman dan warga warga sipil tidak luput dari serangan dn investigasi kekuatan militer.
Keempat, kejahatan kemansiaan dan agresi militer Israel semakin nyata ketika mereka menggunakan serangan laut udara dan darat dengan menggunakan alat-alat senjata bom-bom yang sangat berbahaya.
Kelima, Israel sebagai pelaku kejahatan juga karena tidak tunduk pada kewajiban hukum internasional. Sehingga perbuatan agresi militer terhadap Gaza tersebut telah mengabaikan tegaknya perdamaian dan nilai HAM Universal. Dengan kata lain Israel telah melalikan kewajiban yang dibebankan pasal 1 ayat (2) yaitu tidak melaksanakan hubungan persahabatan berdaasarkan prinsip kesederjatan, dan beruaya untuk menegakan terselenggaranya perdamaian universal. Selain itu, tindakan militer Israel dengan jelas telah melaikan ketentuan pasal 2 ayat (4) yaitu Israel tidak berupaya untuk mengendalikan dirinya dalam hubungan internasional untuk tidak mengancam dan menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah negara berdaulat lainnya atau negera yang seara politis telah merdeka.
Tindakan yang tidak berkesesuaian dengan tujuan didirikannya Paiagam PBB 1945 dan Deklarasi HAM 1948. Penyiksaan dilakukan militer terhadap warga Negara Palestina, penyiksaan dan berbagai prosedur. Penyerangan secara sistematis dan massif di wilayah-wilayah pemukiman, termasuk terbunuhnya wartawan dan beberapa orang yang non combatan menujukan bahwa tindakan militer Israel tidak mempertimbangkan pri-kemanusiaan.[9]


D.    KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas maka telah jelas bahwa Israel melanggar ham yang telah ada di dunia ini. Bentuk-bentuk kejahatan ham yang dilakukan oleh Israel adalah sebagai berikut :
1.      Penyerangan yang dilakukan oleh militer Israel adalah kejahatan yang besar, karena penyerangannya kepada masyarakat sipil yang mempunyai hak untuk dapat perlindungan.
2.      Kejahatan yang dilakukan Israel hanya berbentuk individual, bukan dari suruh atasan negara.
3.      Tindakan balasan yang dilakukan israel terlalu berlebihan.
4.      Penyerangan yang dilakukan Israel, baik itu lewat darat, laut dan udara menggunakan senjata yang sangat berbahaya.
5.      Israel tidak tunduk dengan hukum internasional.
E.     DAFTAR PUSTAKA

Prayitno, 2010,  Pendidikan Kebangsaan, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (KADEHAM), Jakarta, Universitas Trisakti.
Thontowi, Jawahir, 2009,  Israel Versus Hamaz Di Gaza: Peran Umat Islam Dalam Mencari Solusi Damai Perspektif Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta.

Pratiwi, Lidya, 2014, Sejarah dan latar belakang konflik Israel-Palestina dari 2000SM- sampai sekarang.

William Nagel, Gerard, 2011, Pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh Israel Terhadap Warga Sipil Palestina ditinjau dari Hukum Internasional, Medan, Universitas Sumatera Utara.



[1] Prayitno,  Pendidikan Kebangsaan, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (KADEHAM), (Jakarta, Universitas Trisakti, 2010) hlm 123-124.
[2] Gerard William Nagel, Pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh Israel Terhadap Warga Sipil Palestina ditinjau dari Hukum Internasional, (Medan, Universitas Sumatera Utara, 2011).
[3] Ibid.
[4] Lihat di http://www.aspacpalestine.com/ diakses pada tanggal 5 januari 2016.

[5] Lidya Pratiwi, Sejarah dan latar belakang konflik Israel-Palestina dari 2000SM- sampai sekarang, 2014.


[6] Istilah kovenan (Covenant) juga mengandung arti yang sama dengan piagam, jadi digunakan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional. Sebuah organisasi internasional yang konstitusinya memakai istilah covenant dalah Liga Bangsa-Bangsa (Covenant of the League of Nations). Di samping itu suatu perjanjian yang bukan merupakan konstitusi organisasi internasional ada juga yang memakai istilah covenant seperti Kovenan Intenasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, tanggal 16 Desember 1966 (Internasonal Covenant on Civil and Political Rights of December 16. 1966) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 16 Desember 1966 (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, December 16, 1966).
[7] Konvensi Menentang Penyiksaan atau yang dalam bahasa resminya adalah Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia atau yang dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan The United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment adalah sebuah instrumen hukum internasional yang bertujuan untuk mencegah penyiksaan terjadi di seluruh dunia.

[9] Jawahir Thontowi,  Israel Versus Hamaz Di Gaza: Peran Umat Islam Dalam Mencari Solusi Damai Perspektif Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, 2009.